LANGIT ADALAH ATAPKU. BUMI ADALAH PIJAKANKU. HIDUP ADALAH SAJADAH PANJANG HINGGA AKU MATI.
Rabu, 18 Juli 2018
Atlet Muslim dan Rasialisme di Perancis
Perancis menjadi juara dunia sepakbola ketika berhasil mengalahkan Kroasia pada final yang digelar hari Minggu lalu. Kemenangan ini tak terlepas dari kepiawaian para pemainnya dalam laga tersebut. Salah satu yang menonjol adalah Mbappe, yang terpilih sebagai pemain muda terbaik.
Kylian Mbappe dan beberapa pemain lainnya seperti N'Golo Kante, Samuel Untiti dan Paul Pogba adalah keturunan imigran dari Afrika. Mbappe adalah salah satu pemain yang merupakan peranakan Kamerun dan Aljazair yang beragama Islam. Ia kini menjadi pujaan karena prestasinya yang luar biasa.
Ironinya, kecemerlangan pesepakbola muslim berbanding terbalik dengan gerakan Islamphobia yang terjadi di Perancis. Baru-baru ini, pemimpin Front Nasional Perancis, Marine Le Pen menyerukan kepada pihak berwenang untuk menghentikan pemberian visa kepada warga Aljazair. Hal itu untuk mencegah aliran dana dari imigran Aljazair ke negara mereka.
Walaupun seruan itu disebabkan penolakan Aljazair untuk menerima mantan penembak Charlie Hebdo yang akan bebas akhir tahun ini, tetapi menyiratkan rasialisme. LePen menganggap Perancis tidak lagi memiliki wibawa dan kredibilitas internasional jika tetap membiarkan imigran dari Aljazair.
Padahal, imigran Aljazair telah memberikan kontribusi besar bagi persepakbolaan Perancis sejak dua dekade yang lalu. Zinedine Zidane, Lilian Thuram, Marcel Desailly, dan Thiere Henry telah mengharumkan nama Perancis dalam kancah internasional.
Di samping itu, sebelum gelaran piala dunia di Rusia, pemerintah Perancis mengimbau para diaspora Afrika agar mendukung tim Perancis karena mayoritas pemain adalah keturunan imigran. Masyarakat diaspora tentu saja mengharapkan kemenangan tim Perancis akan lebih mendorong sikap yang lebih toleran kepada mereka.
Memang ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, Pemerintah Perancis akan bersikap lebih lunak dan akomodatif terhadap penduduk imigran muslim dari Afrika. Hal itu merupakan penghargaan terhadap andil besar pesepakbola keturunan imigran yang mengharumkan nama Perancis.
Kemungkinan kedua adalah pengelu-elukan timnas Perancis hanyalah euforia belaka karena masih dalam nuansa piala dunia. Setelah euforia ini selesai, sikap pemerintah Perancis akan kembali menekan masyarakat imigran dalam upaya menyetop pengaruh Islam di Perancis.
Satu fakta bahwa pemerintah Perancis bertindak atas desakan tokoh-tokoh politik yang menganut Islamophobia. Di sisi lain, Perancis tidak dapat terlepas dari sifatnya sebagai imperialis yang dahulu menjajah sebagian besar wilayah Afrika.
Rasialisme dan Islamophobia bisa ditundukkan bila masyarakat Perancis menyadari bahwa hal itu tidak ada gunanya. Bahkan mereka harus mengakui bahwa nasib Perancis mungkin akan berbeda jika tidak ada imigran muslim dari Afrika. Sebagaimana yang diperlihatkan masyarakat Inggris pecinta sepakbola yang memuja Mohammed Salah.
Kita berharap bahwa Mbappe adalah edisi selanjutnya dari Mohammed Salah untuk mengubah pandangan masyarakat yang terjebak arus Islamophobia. Sepakbola ini memang bisa menjadi blessing in disguise, jalan Tuhan untuk membuka mata masyarakat tentang Islam dan muslim yang sesungguhnya.
Semoga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar