Saya ingat pertama kali membacanya puluhan tahun yang lalu, air mata saya mengalir. Dan ternyata ketika membaca ulang kisah ini, saya masih juga tidak dapat menahan haru. Bagaimana tidak, kisah ini merupakan gambaran kekejaman pemerintah kolonial Belanda ketika menjajah Indonesia, khususnya di wilayah Lebak, Banten.
Sekadar mengingatkan, pada masa penjajahan tahun 1830 Belanda menerapkan tanam paksa di Banten. Penjajahan itu sangat menindas rakyat karena Adipati Lebak dan Demang Parangkujang justru menjadi antek Belanda, membantu Belanda memeras rakyatnya.
Rakyat harus membayar pajak yang sangat tinggi. Jika tidak mampu membayar, mereka akan merampas hasil bumi, kerbau dan hewan ternak lainnya milik penduduk. Praktik tersebut memiskinkan rakyat Banten.
Saidjah adalah lelaki Badur yang memiliki kerbau kesayangan. Kerbau itu dipeliharanya sejak kecil. Ketika ayahnya sudah tidak sanggup lagi membayar pajak, maka kerbau itu melayang, dirampas Belanda sebagai ganti pembayar pajak.
Padahal kerbau itu yang diandalkan untuk menggarap sawah mereka. Alibatnya, mereka jatuh miskin. Ibunda Saidjah tidak mampu bertahan terhadap keadaan mereka dan akhirnya meninggal dunia. Ayah Saidjah yang mengungsi ke Bogor, malah ditangkap oleh pasukan Belanda.
Saidjah sendiri tengah menjalin cinta dengan Adinda, teman mainnya sejak kecil. Mereka telah dijodohkan orang tua. Saidjah bermaksud mengadu nasib ke Batavia untuk mencari uang agar dapat membeli kerbau dan mempunyai bekal untuk meminang Adinda.
Patung Saidjah (dok.anissaputri)
Saidjah berjanji akan kembali dalam hitungan 3 x 12 bulan. Adinda harus menggores satu guratan setiap bulan di lesungnya untuk menghitung kepergian Saidjah. Dalam 36 bulan itu Saidjah bekerja keras, menjadi bendi pada tuan Belanda di Batavia untuk mengumpulkan uang demi masa depan.
Sayangnya sebelum masa itu berakhir, Adinda harus mengikuti orang tuanya mengungsi ke Lampung. Mereka tidak ingin lagi diperas dan justru bergerilya melawan Belanda. Adinda pun membantu ayahnya dalam melakukan perlawanan
.
Remuk hati Saidjah tidak mendapati kekasihnya ketika pulang ke Lebak. Ia hanya menemukan rumah yang kosong dan hampir runtuh. Bibi Adinda yang menjelaskan bahwa Adinda mengungsi ke Lampung. Ia menyarankan Saidjah untuk segera menyusul.
Saya dan Adinda menunggu (dok.pri)
Tentara Belanda berhasil menemukan persembunyian keluarga Adinda dan teman-teman lain yang bergerilya. Mereka menembak para pejuang tersebut hingga tewas di tempat. Nyawa Adinda melayang, tubuhnya terbujur kaku di samping jenazah ayahnya.
Saidjah datang terlambat. Ia menangis melihat sang kekasih pergi untuk selamanya. Kain yang dibeli untuk pernikahan mereka, diselimutkan ke tubuh Adinda.
Saidjah mengamuk kepada tentara Belanda yang membunuh kekasihnya. Ia menembaki pasukan Belanda sejadi-jadinya. Setelah itu Saidjah bunuh diri dengan menggunakan sebuah bayonet yang ditikamkan ke dadanya. Ia tewas menyusul Adinda.
Kisah cinta yang tragis ini kemudian diabadikan di museum Multatuli Rangkasbitung, Lebak. Ada sebuah perpustakaan yang diberi nama Perpustakaan Saidjah dan Adinda. Di sisi kiri museum terdapat beberapa patung yang menggambarkan kisah tersebut.
Patung utama adalah patung Multatuli yang sedang membaca buku di perpustakaan. Beberapa meter di sebelah kanan ada patung Adinda yang sedang menunggu kedatangan Saidjah. Sedangkan patung Saidjah ada di bawah, di kiri depan patung Multatuli.
Saya pun akan merasakan penderitaan yang sama jika saya menjadi Adinda. Sungguh kejam para penjajah, baik itu orang Belanda ataupun dari pribumi yang membantu mereka. Orang-orang yang haus kekuasan dan tak peduli pada nasib orang lain.
saya dan Multatuli (dok.pri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar