LANGIT ADALAH ATAPKU. BUMI ADALAH PIJAKANKU. HIDUP ADALAH SAJADAH PANJANG HINGGA AKU MATI.
Kamis, 25 April 2019
Berburu Blue Fire di Gunung Ijen
Buat para pendaki gunung atau pecinta alam, gunung Ijen sudah tidak asing lagi. Salah satu gunung yang terkenal dengan belerang yang mematikan adalah gunung Ijen. Sudah banyak orang yang menjadi korban dan tewas di tempat.
Namun beberapa tahun terakhir, ada sesuatu yang membuat nama gunung Ijen melejit, bahkan sampai ke mancanegara. Di sana, di kawah gunung Ijen ada fenomena blue Fire atau api biru.
Fenomena Blue Fire ini juga yang menarik wisatawan dari dalam dan luar negeri. Walaupun mereka bukan pendaki gunung, mereka ingin melihat api itu.
Tidak mudah untuk mendapatkan penampakan api ini karena tidak muncul setiap saat. Blue fire hanya bisa dilihat pada pukul setengah lima pagi atau sekitar Subuh.
Para pendaki gunung, fotografer dan orang orang yang penasaran tentu memburu penampakan blue fire dengan berbagai cara. Meskipun mereka harus membelah malam dan menembus dinginnya udara.
Kebetulan liburan panjang kemarin saya diajak sahabat untuk mencoba ke kawah gunung Ijen. Saya pun menyanggupinya. Saya juga ingin menguji kekuatan fisik saya di usia yang semakin bertambah ini.
Maka saya termasuk dalam rombongan berjumlah 19 orang yang berangkat dari Jakarta dengan menggunakan kereta. Dari Surabaya, menumpang mobil Elf menuju Baluran. Kami hanya transit di sebuah homestay, karena pada jam 11 malam sudah berangkat ke gunung Ijen.
Tiba di lokasi, kami disambut hujan. Tapi hal itu tidak menyurutkan langkah karena hujan itu sudah diprediksi sebelumnya. Kami memakai jas hujan tipis sekali pakai.
Pada pukul satu dini hari itulah kami mulai menyusuri jalur pendakian. Di papan dekat gerbang, ada pemberitahuan bahwa track mendaki sepanjang 3,5 kilometer. Semula kami berjalan beriringan, lama kelamaan terpisah secara alami berdasarkan kecepatan dan kekuatan masing-masing.
Awalnya, jalur pendakian cukup lebar dan terang. Begitu lebih dari 500 meter mulai menyempit dan semakin terjal. Hal inilah yang membuat jarak kami semakin berjauhan.
Menurut perkiraan, saya ada di tengah tengah rombongan, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat. Kalau merasa lelah, berhenti dulu sejenak di pinggiran, lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Kami saling memberi semangat walau tidak mengenal siapa yang lewat. Begitulah kebiasaan para pendaki gunung. Saya pun sering menyemangati dan disemangati yang lain.
Saya baru tiba di puncak sekitar pukul empat pagi. Udara yang teramat dingin menyerang, membuat saya menggigil. Saya memang tidak terlalu kuat menahan hawa dingin, jadi sesekali berlindung di balik bebatuan.
Namun untuk melihat blue fire di kawah gunung Ijen, kita harus turun lagi sekitar 700 meter. Nah di sini kita harus menggunakan masker babi. Masker ini yang bisa menahan hawa belerang yang sangat kuat dari kawah.
Udara sangat berkabut di sekitar kawah. Karena itu pemunculan blue fire tidak maksimal. Blue fire hanya tampak sedikit sekali. Itupun hanya sebagian kecil yang melihat. Sedangkan di belahan kawah yang lain justru tidak terlihat.
Maka, tidak banyak yang sempat mengabadikan blue fire. Beberapa teman berhasil memotret, tapi sebagian yang lain gagal mendapatkannya.
Setelah pukul lima, fajar mulai menyingsing. Semburat warna merah kekuningan membias di langit. Kami pun mulai beranjak.
Sebagian pendaki masih mengambil foto foto dengan latar belakang fajar di ufuk timur. Sedangkan yang sudah turun, cukup puas memotret kabut yang mulai turun sehingga puncak gunung terlihat seperti pulau.
Kami tiba kembali di gerbang sekitar pukul tujuh pagi. Tubuh terasa sangat lelah, terutama bagian kaki. Kami pun istirahat dan sarapan sekedarnya.
Foto: koleksi grup Ijen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar