LANGIT ADALAH ATAPKU. BUMI ADALAH PIJAKANKU. HIDUP ADALAH SAJADAH PANJANG HINGGA AKU MATI.
Selasa, 17 Desember 2019
Kehabisan Nafas di Gua Gudawang
Menyusuri gua adalah hal yang paling jarang saya lakukan. Menurut saya, butuh persiapan dan perlengkapan khusus seperti senter di kepala yang mirip pekerja tambang, juga kantong oksigen dan perlengkapan lainnya.
Tapi saya tidak menolak ketika ada tantangan untuk menyusuri gua bawah tanah di daerah Cigudeg, Bogor. Lokasinya di antara Leuwiliang dan Parung Panjang, sekitar dua setengah jam dari Jakarta melalui tol Tangerang atau Jagorawi.
Maka berangkatlah saya dalam kelompok kecil berjumlah delapan orang. Sampai di sana tepat tengah hari, jadi sholat dahulu di mushola sebelum turun ke gua. Area sekitar gua rimbun dengan pepohonan, dan bebatuan karang menginginkan saya pada gua Sunyaragi Cirebon.
Gua Gudawang ini merupakan kompleks gua berjumlah 12. Tetapi baru tiga yang dibuka untuk umum. Tiga gua inilah yang akan kami eksplor. Pertama adalah gua si Menteng, kedua adalah gua Simasigit dan ketiga adalah gua Sipohang.
Saya tidak lupa membaca doa dan ayat Kursi di dalam hati, sebelum masuk ke dalam gua. Soalnya gua adalah salah satu tempat tinggal makhluk ghaib alias jin. Saya tidak ingin diganggu mereka.
Pemandu kami bernama Mas Edo yang sudah puluhan tahun tinggal di sini. Dengan sabar ia menjelaskan tentang gua si Menteng sambil memandu jalan kami ke bawah. Tidak mudah untuk turun ke bawah karena anak tangga yang licin dan terjal.
Jalan ke bawah juga berbelok-belok, tidak setiap tangga terdapat pegangan. Kami harus merambat di dinding dan melangkah turun dengan hati-hati. Di dinding gua kami temukan beberapa lubang mirip jendela yang rupanya menjadi tempat orang bertapa.
Batas lampu hanya sampai di 100 ke bawah, setelah itu harus mengandalkan senter. Kami tidak sanggup turun ke bawah bukan karena tidak kuat, tetapi nafas menjadi sesak kekurangan oksigen. Gua ini tidak ada tembusannya alias buntu di bawah, jadi tidak ada pergantian udara. Salut kepada para pertapa yang sanggup berdiam di situ.
Kembali ke atas dengan keringat bercucuran dan nafas terengah-engah. Kami langsung menghirup udara segar sebanyak-banyaknya, menggantikan kekurangan oksigen di dalam gua. Kami istirahat sejenak untuk mengatur nafas.
Gua kedua yang bernama Simasigit cukup pendek, panjangnya hanya 40 meter ke dalam. 10 meter cukup luas, selebihnya menyempit. Tapi di sini tidak pengap karena ada lubang di langit-langit gua semacam ventilasi.
Bedanya lagi, gua ini menjadi tempat tinggal kelelawar. Beberapa kelelawar terbang melintas di atas kami. Banyak kotoran di lantai gua, yang terpaksa diinjak. Bagusnya di sini ada stalaktit dan stalakmit yang sudah menyatu, bentuknya indah.
Keluar dari Simasigit kami menuju ke gua Sipohang. Berjalan menurun di antara pepohonan sejauh 300 meter. Eh ternyata mulut gua harus turun anak tangga yang terjal lagi sekitar 20 meter. Kepalang tanggung, saya tetap turun untuk melihat isi gua.
Gua Sipohang ini paling panjang, kedalaman mencapai 700 meter dengan melalui sungai kecil yang sering banjir saat musim hujan. Langit-langit gua tidak rata, kadang menjorok ke bawah sehingga kita harus merunduk. Gua ini ada tembusannya sehingga aliran oksigen membuat kita tidak kehabisan nafas
Namun kami memutuskan untuk tidak menyusuri gua ini. Lebih aman jika menggunakan sepatu boot daripada sket mengingat lantai gua adalah sungai kecil. Setelah berfoto di mulut gua, kami kembali ke atas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar