LANGIT ADALAH ATAPKU. BUMI ADALAH PIJAKANKU. HIDUP ADALAH SAJADAH PANJANG HINGGA AKU MATI.
Kamis, 09 Januari 2020
Jalan Pulang Dari Baduy Dalam Dengan Track Berbeda
Usai diskusi, sebagian teman mulai tidur, sebagian teman lagi masih ngobrol di depan pintu, termasuk kang Egar. Saya hanya membaringkan tubuh karena memang tidak bisa tidur sama sekali. Walaupun memejamkan mata tetapi kantuk justru hilang.
Menjelang tengah malam semua sudah masuk dan membungkus diri. Ada yang mengenakan sleeping bag, selimut atau sarung. Saya hanya memakai sarung dengan kaos kaki dan jaket. Tiba-tiba saya merasa kedinginan, ada angin dingin menerobos masuk melalui celah pintu. Saya yang berbaring di dekat pintu merasakan hembusan angin itu.
Untuk beberapa lama saya menggigil dan meringkuk untuk menghangatkan diri. Dalam hati juga berdoa agar hawa dingin ini cepat berlalu. Akibat kedinginan, saya jadi ingin buang air kecil, tapi saya tidak tega jika membangunkan orang lain untuk menemani ke sungai. Akhirnya saya menahan menunggu subuh tiba. Di sela-sela waktu menunggu saya tahu kang Safrii keluar bolak balik sekitar tiga kali. Agaknya karena mendengar suara binatang yang mendekat ke rumah.
Pukul 04.19 saya membangunkan Wanda, gadis yang tidur di sebelah saya. Saya ajak dia ke sungai. Kami berdua keluar dengan hati-hati membawa satu senter. Lega rasanya setelah berhasil ke sungai. Beberapa teman juga terbangun setelah saya selesai shalat Subuh.
Pagi mulai ramai, kami minum teh dan kopi panas. Sarapan pun disediakan oleh kang Safrii. Menurut rencana kami akan kembali turun pukul delapan. Usai sarapan kami berbenah memasukkan pakaian ke dalam ransel. Pakaian basah kemarin membuat tas menjadi lebih berat.
Kira-kira pukul 09.30 kami berkumpul dan berdoa di sebuah tempat terbuka. Lalu mulai perjalanan untuk kembali pulang. Ternyata track pulang berbeda dengan keberangkatan. Menurut kang Egar, jalur yang dilalui lebih panjang tapi tidak se-ekstrim jalur keberangkatan.
Walaupun begitu, bukan berarti perjalanan lebih ringan. Hujan kembali turun meski tidak deras. Tetapi tanah basah bekas hujan kemarin belum kering, ditambah hujan lagi. Kemudian tubuh juga masih lelah dan kaki terasa pegal-pegal. Jadi perjalanan ini tetap saja berat. Untunglah ada kang Herman, suku Baduy Dalam yang menjaga saya.
Beberapa kali melewati tanjakan dan turunan yang licin. Sesekali berhenti melihat duren yang jatuh. Ada beberapa monyet yang berpesta di atas pohon duren. Sayangnya duren yang jatuh dekat track tidak ada yang matang. Saya heran ketika di tengah hutan ada yang berjualan minuman dan air mineral. Dia tahu ada rombongan yang turun dari Baduy Dalam.
Jalur tanah yang dilalui semakin licin. Ada teman perempuan yang jatuh di depan saya. Waduh, yang masih muda saja bisa jatuh, apalagi saya. Tanah becek menutupi sandal gunung yang saya pakai. Tongkat menjadi tumpuan agar tidak terpeleset.
Namun di sebuah turunan yang sangat licin, tongkat saya tiba-tiba patah, saya pun terpeleset jatuh terduduk. Untunglah tidak terjadi sesuatu yang parah. Saya dibantu kang Herman untuk bangkit berdiri dan seorang teman gadis menyodorkan tongkatnya untuk saya gunakan.
Saya berjalan lagi dengan hati-hati, sesekali dituntun kang Herman jika track terlalu terjal atau licin. Saya hanya berharap agar kuat sampai akhir perjalanan. Dalam perjalanan pulang ini, kami menjadi terpisah-pisah. Saya tak tahu berapa orang di depan saya dan berapa orang di belakang saya.
Kami melewati tanaman padi yang dijaga seorang anak di gubuk. Setelah itu ada turunan dan belokan yang latar belakangnya adalah lembah. Ternyata di sini kami sudah boleh berfoto. Meski masih gerimis, kami mengeluarkan hape untuk ber-selfie.
Setelah itu ada track berbatu yang tersusun lebih rapi dari jalur keberangkatan. Tapi track ini tidak panjang, selanjutnya kembali terjal dan licin. Saya harus ekstra hati-hati agar tidak terjatuh. Tangan kanan sudah sakit karena selalu memegang tongkat.
Akhirnya tiba juga di sebuah perkampungan milik Baduy Luar, kami istirahat cukup lama di sini, menghilangkan haus dan ketegangan. Perkampungan ini cukup bagus difoto sehingga teman-teman juga memanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Kami cukup lama di perkampungan ini, sambil menunggu teman-teman yang lain, foto selfie sepuasnya. Saya memilih untuk tetap duduk untuk mengistirahatkan kaki daripada bolak balik foto. Biarlah itu buat anak-anak muda.
Cuaca masih gerimis, saya melanjutkan perjalanan bersama kang Herman. Ada dua pilihan, yang mau ke akar gantung atau lurus saja menuju lokasi pulang. Banyak teman memilih ke jembatan akar gantung. Memang jembatan akar ini merupakan ikon kunjungan ke Baduy.
Tetapi karena track ke jembatan akar gantung juga naik turun, saya memilih untuk tidak ke sana, kuatir tambah lelah dan lemah. Jadi saya memisahkan diri dari teman-teman, lebih dahulu menyusuri jalan pulang.
Beberapa kali naik turun melewati tebing yang banyak pohon duren, bertemu sungai kecil dengan banyak batu. Kami sempat juga melihat sungai besar yang dilalui jembatan akar, airnya terdengar bergemuruh. Menurut kang Herman, namanya sungai Cicimet. Sungai ini kelak bertemu dengan sungai Cidurian di bawah. Sungai Cidurian yang menyebabkan banjir bandang di Lebak.
Jalur terbagi dua lagi, yang lewat sawah atau tebing. Saya lebih memilih naik ke tebing karena lewat sawah lebih berat, tanah becek bakal menempel di alas kaki. Setelah terengah-engah melewati tebing kami tiba di tempat yang sudah terbuka. Di sini ada tawaran ojek ke pangkalan mobil Elf dan angkot yang menunggu kami, tarifnya 30 ribu.
Saya ragu naik ojek, kang Herman mengatakan tinggal 2 kilometer lagi. Dalam hati, saya bilang tanggung kalau tidak diselesaikan dengan jalan kaki. Akhirnya saya melanjutkan perjalanan tanpa ojek bersama kang Herman. Eh di tengah jalan, tiba-tiba ada teman cowok yang melambaikan tangan, naik ojek.
Pukul setengah dua siang saya tiba di pangkalan, rasanya lega banget berhasil menyelesaikan perjalanan. Kami melepas lelah dengan minum sebanyak-banyaknya dan makan Indomie di sebuah warung. Teman-teman lain tiba dalam waktu yang berbeda.
Sekitar jam tiga-an kami meluncur menuju stasiun Rangkasbitung. Tubuh sudah sangat lelah. Kaki terasa sakit, tidak bisa rukuk dengan baik ketika shalat. Kami naik Commuter Line yang jadwalnya pukul lima sore menuju stasiun Tanah Abang.
*I am so tired, but it's Unforgettable
Tidak ada komentar:
Posting Komentar