LANGIT ADALAH ATAPKU. BUMI ADALAH PIJAKANKU. HIDUP ADALAH SAJADAH PANJANG HINGGA AKU MATI.
Selasa, 07 Januari 2020
Menembus Hujan Menuju Perkampungan Baduy Dalam (Bagian 1)
Beberapa hari yang lalu saya mengikuti trip ke Baduy Dalam. Ini sungguh tak direncanakan sebelumnya karena semula berniat ke Garut untuk tahun baruan. Berhubung teman yang mengajak ke Garut membatalkan diri, secara iseng saya melihat paket trip yang ada di Instagram.
Dari sekian banyak grup trip, saya tertarik pada satu saja karena keberangkatannya pada hari Selasa tanggal 31 Desember. Malam tahun baru menginap di perkampungan Baduy Dalam, esok harinya kembali ke Jakarta.
Lantas saya menghubungi tour guide yang menawarkan trip tersebut. Saya menanyakan apakah masih bisa ikut serta, ternyata jawabannya bisa. Maka pada malam itu saya langsung packing untuk persiapan esok pagi.
Sesuai petunjuk, meeting point di stasiun Tanah Abang atau Rangkas Bitung. Karena itu setelah Subuh saya meluncur dengan menggunakan Commuter Line. Ketika tiba di stasiun Tanah Abang pukul 06.30, saya mendengar pemberitahuan bahwa kereta ke Rangkas Bitung sudah tersedia. Saya tidak jadi ikut meeting point di stasiun Tanah Abang, tapi langsung menaiki kereta tersebut.
Dua jam kemudian saya sudah berada di stasiun Rangkas Bitung . Saya yakin teman-teman belum ada yang tiba di sini, karena itu saya sarapan dahulu di salah satu gerai fast food yang ada di stasiun. Selesai sarapan saya duduk menunggu di koridor menuju pintu keluar.
Selang beberapa menit, di grup WA mulai ada absen. Saya memberi tahu bahwa saya sudah di stasiun Rangkas Bitung. Ternyata tour guide yang bernama Egar, sudah ada di dekat pintu keluar. Saya pun bergabung dengan dia dan teman-teman yang lain.
Pukul 10.00 kami berangkat dengan menggunakan mobil Elf dan satu angkot menuju desa Cibeuleger yang berada di kawasan Baduy Luar. Sekitar pukul sebelas lebih sedikit kami tiba di sana. Beberapa orang suku Baduy Dalam telah menunggu di depan warung.
Teman-teman beristirahat dan makan di warung. Sebagian membeli bekal untuk perjalanan. Saya ke mini market membeli air mineral, selain itu juga teh dan kopi untuk oleh-oleh yang akan diberikan pada empunya rumah yang bakal kami tinggali. Menurut petunjuk, mereka paling suka diberi ikan asin, tapi saya tidak mau membawa sesuatu yang amis.
Usai shalat Lohor di masjid terdekat, kami berfoto dan berdoa dulu sebelum berangkat. Kami naik dari gapura Baduy Luar yang merupakan titik awal pemberangkatan. Semula jalannya cukup bagus, dicor dan cukup lebar. Tetapi tak lama kemudian track berubah menjadi batu-batu besar dan kasar.
Di samping kiri kanan ada deretan rumah Baduy Luar. Rerata masih terbuat dari kayu. Beberapa rumah menawarkan dagangan hasil kerajinan seperti tas, pakaian, syal dsb, termasuk ikat kepala khas Baduy Luar berwarna biru dongker bermotif daun/bunga. Karena ini musim duren, banyak juga yang menjual duren hasil tanaman sendiri.
Di suatu tempat, ada wanita Baduy Luar yang menjual tongkat dari ranting pohon. Tongkat ini kelak berguna membantu kita dalam perjalanan. Harganya murah, hanya lima ribu per dua tongkat. Meski begitu saya malas membeli karena malas menenteng tongkat. Ini ternyata sebuah kesalahan.
Gerimis yang mengiringi lama kelamaan menjadi hujan lebat. Perjalanan semakin sulit, naik turun tangga berbatu melewati sudut-sudut perkampungan Baduy Luar. Perkampungan ini memang tidak terletak pada dataran yang rata, berbeda tinggi rendahnya, ada yang di atas dan ada yang di bawah. Kadang kami harus jalan naik turun, berbelok-belok pada jalur berbatu yang cukup terjal.
Hujan pun semakin deras. Untunglah kami sudah diberitahu untuk memakai jas hujan plastik yang murah meriah. Setidaknya melindungi kami dan tas ransel dari basah. Entah karena perubahan iklim yang drastis, udara menjadi dingin sementara tubuh semakin panas, tetiba kaki kiri saya mengalami kram otot di area betis. Duh, padahal perjalanan masih jauh.
Kebetulan Egar membawa minyak gaharu dari Papua yang kemudian dibalurkan ke kaki. Berkat minyak itu saya bisa berjalan lagi. Seorang teman wanita memberikan tongkatnya kepada saya untuk membantu berjalan. Saya sangat berterima kasih atas kemurahan hatinya. Dia sendiri didampingi kekasihnya yang cukup kuat dan sama-sama hobi naik gunung.
Perkampungan Baduy Luar berakhir di tempat yang dinamakan Gazebo. Di sini ada sebuah jembatan bambu melintasi sungai. Saya sebetulnya ingin memotret jembatan ini, sayang hujan deras. Saya kuatir hape menjadi basah dan rusak.
Perlu diketahui bahwa pengunjung atau wisatawan hanya boleh mengambil foto di kawasan Baduy Luar. Sedangkan kawasan Baduy Dalam terlarang untuk pengambilan gambar dalam bentuk apapun. Larangan lain adalah tidak boleh membuang sampah sembarangan. Jika kita mempunyai sampah makanan, sebaiknya dikantongi dahulu dan baru dibuang setelah keluar dari kawasan Baduy.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar