LANGIT ADALAH ATAPKU. BUMI ADALAH PIJAKANKU. HIDUP ADALAH SAJADAH PANJANG HINGGA AKU MATI.
Rabu, 08 Januari 2020
Menembus Hujan Menuju Perkampungan Baduy Dalam (Bagian 2)
Saya tidak mempersiapkan diri secara fisik ketika melakukan trip ke Baduy Dalam ini. Mungkin itulah sebabnya saya mengalami kram di kaki. Pendakian terakhir adalah bulan Maret 2019 ke kawah gunung Ijen. Setelah itu hanya berwisata ke tempat-tempat biasa.
Padahal ternyata medan yang harus dilalui untuk menuju perkampungan Baduy Dalam lebih berat dari pendakian Gunung Ijen. Celakanya saya kram sebelum memasuki kawasan Baduy Dalam. Apalagi hujan deras terus mengguyur membuat track semakin terasa sulit.
Untunglah ada teman yang menawarkan membawa ransel saya. Dia juga merupakan tim tour guide yang mendampingi saya. Kami beristirahat di sebuah gubuk sebelumnya mulai menyusuri wilayah Baduy Dalam.
Baru saya sadari bahwa kawasan Baduy Luar ibaratnya hanya pintu masuk yang perjalanannya tidak seberapa dibandingkan ke kawasan Baduy Dalam. Justru perjalanan berat yang sesungguhnya baru dimulai.
Jalur yang kami lewati bukan jalur yang mulus. Kalau pun berbatu, maka batu-batunya tidak beraturan, besar kecilnya tidak sama, tinggi rendahnya juga tidak sana. Padahal jalur itu naik turun. Kalau menanjak menjadi sangat terjal dan kalau menurun menjadi sangat curam.
Karena itulah keberadaan tongkat sangat diperlukan untuk membantu keseimbangan dan juga menahan tubuh agar tidak terpeleset serta mengangkat tubuh ke pijakan yang lebih tinggi.
Hujan deras terus mengguyur, saya semakin merasa lemah, tenaga banyak terkuras dengan track naik turun di jalan yang licin dan terjal. Beberapa kali kram menyerang sehingga saya terpaksa beristirahat. Syukurlah Egar cukup sabar menjaga saya. Bahkan kami sambil berdiskusi mengenai kehidupan.
Karena sering berhenti untuk menyesuaikan kaki yang kram, saya menjadi pejalan paling akhir. Teman-teman tidak tampak, tertutup kabut, air hujan atau karena belokan belokan yang terlindung pepohonan.
Di tengah perjalanan ada tanaman padi yang masih baru. Mereka menanam di tebing yang memiliki kemiringan lereng gunung, sekitar 60 derajat. Heran juga bagaimana cara mereka menanam padi dengan rapi di tebing seperti itu.
Hujan bertambah deras, saya beberapa terpeleset, nyaris terjatuh. Untung ada tongkat dan pegangan kayu. Kalau tidak pasti saya akan kesulitan melanjutkan perjalanan.
Tanjakan paling menyeramkan adalah tanjakan cinta, entah di kilometer berapa. Tanjakan itu sangat terjal dan licin, nyaris membuat saya terguling. Hujan deras.membuat tanjakan ini menjadi horor. Karena itulah tanjakan ini paling dikenal. Tetapi yang menamakan ini tanjakan cinta bukan orang Baduy, melainkan orang-orang yang sudah melewatinya. Konon kalau tidak dengan cinta (kepada alam) akan sulit melewati jalur ini.
Saya sangat bersyukur ketika akhirnya berhasil melewati tanjakan cinta. Aduhai ternyata nyawa saya masih ada. Soalnya kalau terjadi sesuatu, sulit untuk meminta pertolongan karena kanan kiri adalah pepohonan atau jurang.
Tanjakan cinta bukan akhir perjalanan. Track masih beberapa kilometer lagi. Dengan sisa tenaga saya berjalan pelan-pelan, masih naik turun tapi tidak terlalu terjal lagi. Ada tiga jembatan kecil yang dilewati. Sesekali Egar memantau keberadaan teman-teman melaui suara isyarat burung. Betapa gembiranya saya ternyata mereka tidak terlalu jauh. Rupanya mereka juga mengalami kesulitan di tanjakan cinta, menurut pengakuan beberapa teman, mereka juga hampir menyerah.
Sekitar pukul lima sore lebih (mungkin setengah enam) saya tiba di kampung Cibeo dimana kami akan menginap semalam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar