Satu fakta yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa generasi muda kurang mengetahui seluk beluk adat istiadat tempat asalnya. Mereka enggan belajar atau tidak peduli tentang hal itu, sehingga bisa terjadi di suatu daerah ada salah kaprah perilaku dan penggunaan tata cara adat.
Misalnya yang telah berlangsung di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Beberapa hal menyangkut adat telah dilanggar. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Khrisna Pabicara Marewa, penulis dan budayawan asal Jeneponto dalam seminar tentang budaya Turatea, di Jeneponto.
Khrisna Pabicara prihatin bahwa banyak orang Jeneponto sekarang yang tidak tahu adat. Menurut dia, Saribattang. Tentu tidak akan ada asap apabila tidak ada api. Lalu, apa gerangan apinya sehingga "lidah" Khrisna berasap? Baiklah. Mari kita sisir pelan-pelan.
Banyak orang Jeneponto yang meyakini bahwa orang Jeneponto itu "lompo adak" (amat peduli adat), tetapi tidak sedikit di antara mereka-yang-banyak-itu yang tidak tahu adat apa sebenarnya yang mereka besar-besarkan atau pedulikan.
Tidak usah jauh-jauh, ambil contoh urusan tingkap (tongkosila) rumah saja. Tidak banyak sekarang yang tahu bahwa rumah tanpa tingkap menunjukkan bahwa pemilik rumah berasal dari kalangan ata; satu tingkap berarti tusamarak atau tumaradeka; dua tingkap berarti daeng; tiga tingkap berarti karaeng sossorang (karaeng yang hanya satu pihak orangtuanya berdarah karaeng); empat tingkap berarti karaeng puli (karaeng yang kedua orangtuanya sama-sama karaeng, tetapi tidak menduduki jabatan tertentu); lima tingkap berarti karaeng paempo (karaeng puli yang punya kedudukan); enam tingkap berarti karaeng tiknok (karaeng puli yang anak raja); dan tujuh tingkap berarti karaeng lompo (karaeng puli yang menjadi raja).
Ada contoh lain yang sekarang paling lumrah terjadi, yakni pemakaian baju bodo. Terlepas dari pemakaian baju bodo untuk keperluan pertunjukan dan pelaksanaan upacara adat, ada aturan pemakaian baju bodo bagi khalayak umum. Warna hitam hanya untuk pinati atau pemangku adat, seperti anrong bunting dan paroyong; ungu untuk perempuan tua atau janda yang sudah tidak ingin menikah; kuning untuk janda yang masih mau bersuami; merah untuk perempuan yang sudah bersuami; serta biru untuk gadis yang sudah dewasa, tetapi belum bersuami; serta hijau untuk gadis remaja dan anak-anak.
Sebagian pemilik rumah memakai jumlah tingkap tanpa tahu sandaran simbol, sebagian lagi sudah tahu--tetapi pura-pura tidak tahu, sisanya karena punya uang banyak sehingga merasa bebas membangun rumah meski bertongkosila sebelas. Soal baju bodo lebih parah. Satu ketika Khrisna pernah menemukan gadis remaja berbaju bodo kuning. Masih gadis, tetapi mengaku janda. Ada juga perempuan yang baru menikah, tetapi memakai baju bodo kuning. Saya tanya alasannya, dia bilang karena kuning adalah warna favoritnya. Loh, jangan-jangan dia kebelet pengen pisah dari suami atau berharap suaminya cepat modar. Hehehe.
Ada lagi tradisi angngaru yang bergeser jauh. Dahulu angngaru digelar pada upacara adat dan upacara kerajaan. Sekarang tidak lagi, pakbuntingang (pernikahan) pun ada angngaru. Bunting (pengantin) disambut dengan aru tubarani (ikrar setia hingga mati). Bagaimana kalau selepas acara pernikahan si pengantin enggan bayar honor angngaru? Ya, jangan marah atau mencak-mencak. Bukankah tadi ada ikrar "i katte jeknek na i kambe batang mammayuk"? Kalau ngotot harus ada aru, ubah teks aru yang diikrarkan. Jangan pakai "tinrak bate onjokku, pangka jerakku" sebab itu sumpah.
Satu lagi yang amat parah soal kakaraengang dan pakkaraengang. Kakaraengang menyangkut asal usul seseorang bisa ditahbiskan sebagai karaeng, sedangkan pakkaraengang adalah soal penamaan karaeng. Dua-duanya sudah banyak susut dari aturan lontarak.
Ada segelintir orang yang bukan karaeng, tetapi ingin disebut karaeng. Tidak ada yang mendaulatnya sebagai karaeng, eh, melantik diri sendiri menjadi karaeng. Inilah yang disindir oleh pepatah Makassar. Tanrek tanrukna na erok appacuklak tanruk (tidak bertanduk, tetapi ingin menumbuhkan tanduk). Begitu mencetak undangan, sontak nama satu keluarga langsung ditambahi gelar karaeng. Ommalek!
Tidak hanya itu. Penulisan nama pun bergeser jauh. Nama ditulis pakai potong kompas. Dari nama umum langsung nama karaeng. Ambil contoh Anu Karaeng Anu. Tidak begitu, Karaeng. Penulisan nama itu ada strukturnya. Mula-mula passamarakkang (nama umum), pakdaengang (nama daeng), pakkaraengang (nama karaeng), pakgallarrang (nama gelar), dan pattumateang (nama kematian).
Mari kita ulik contohnya. Suhakir Sultan Daeng Situju. Sekalipun Pak Suhakir seorang karaeng puli, misalnya, namanya tidak bisa langsung ditulis Suhakir Sultan Karaeng Situju. Tidak percaya? Silakan buka lontarak. I Gaukang Daeng Riolo. Beliau raja pertama Kerajaan Binamu. Nama samaraknya I Gaukang. Nama daengnya Riolo. Nama karaengnya Karaeng Matoaya. Lengkapnya: I Gaukang Daeng Riolo Karaeng Matoaya.
Bagaimana kondisi pakkaraengang sekarang? Semua main potong kompas. Nurcaya Karaeng Bulaeng, misalnya. Nurdin Karaeng Awing, misalnya lagi. Mestinya Nurcaya Daeng Bulaeng Karaeng Bontolebang--karaeng merujuk pada nama tempat lahir atau wilayah kekuasaan. Contoh lain: Nurdin Daeng Awing Karaeng Karisa. Lontarak milik H. Ibrahim (Sapanang) dan H. Abdurrahim (Balumbungang) bisa kita jadikan rujukan penamaan, hanya saja saat ini saya tidak tahu siapa ahli waris yang menyimpan lontarak itu.
Begitulah. Tongkosila, baju bodo, angngaru, dan penamaan diri yang banyak bergeser. Semua terjadi karena banyak orang Jeneponto yang "tidak tahu adat". Itu pula yang Khrisna daras saat menjadi narasumber dalam Seminar Kebudayaan yang digelar oleh HPMT Jeneponto Komisariat Unismuh Makassar. Bukan untuk umbar bacot, melainkan agar nipamangei adaka ri attekna (meletakkan adat pada tetaknya).
Salamakki nakipara salamak.