Marcellinus Wellip (dok.kejarinfo.com) |
Bukan rahasia jika jarang ada tenaga kesehatan yang mau ditugaskan ke daerah terpencil. Banyak hal yang dijadikan alasan, misalnya sangat sulit mendapatkan akses, tidak ada sinyal internet hingga honor atau gaji yang dipotong atau tertunda. Tetapi tidak begitu halnya dengan Marcellinus Wellip. Dia rela blusukan ke hutan, menyusuri sungai dan menyeberangi lautan demi menolong pasien yang membutuhkan.
Marcellinus adalah seorang perawat atau mantri. Penduduk sekitar yang ingin berobat biasa datang ke klinik atau puskesmasnya tempat ia bekerja. Tapi dataran Papua bukan seperti tanah Jawa yang mudah dilalui alat transportasi. Papua memiliki medan yang sulit dijelajahi. Tak ada alat transportasi yang memadai.
Di sana kita bakal menemukan jalanan terjal, berbukit-bukit, dan hutan yang masih tumbuh liar. Akses kendaraan yang sangat minim dan mahal. Hal ini yang menyebabkan sebagian pasien di pelosok tak dapat berobat ke fasilitas kesehatan seperti puskesmas. Selain itu, satu kenyataan yang harus dihadapi, bahwa mayoritas masyarakat Papua hidup dalam kemiskinan. Mereka tak punya uang untuk keluar rumah dan mencari pertolongan.
Kondisi ini yang juga mengetuk hati Marcellinus Wellip. Ia paham kesulitan masyarakat di wilayah terpencil. Karena itu ia rela untuk menjemput pasiennya. Bahkan sampai mempertaruhkan jabatan sebagai kepala puskesmas demi berbuat suatu kebajikan.
Marcellinus tetap menerjang dalam cuaca hujan atau panas. Ia sudah terbiasa berjalan puluhan kilometer untuk mencari orang-orang yang butuh pertolongan. Malah dia pernah harus berhari hari berjalan menembus hutan. Menyusuri jalan setapak yang licin dan curam adalah makanan sehari-hari.
Bagi Marcellinus, menolong sesama adalah suatu idealisme yang tak bisa ditukar dengan uang. Ia sigap mengobati siapa saja tanpa mempertanyakan agama, suku, ataupun ras. Padahal, lelaki ini tahu ia tidak akan menjadi kaya dengan pengabdiannya. Ia hanya ingin berbuat semaksimal mungkin untuk menolong masyarakat yang berada di pedalaman. Dia adalah pahlawan yang sesungguhnya. Sungguh tepat ketika SATU Indonesia Award dari Astra memberikan penghargaan kepada Marcellinus Wellip.
Kisah tentang Marcellinus Wellip kemudian diangkat sebagai iklan di Astra. Ini membuktikan bahwa Marcellinus Wellip dapat menginspirasi masyarakat Indonesia, khususnya tenaga kesehatan. Iklan itu menggugah rasa nasionalisme, memanggil nurani kita agar tidak segan mengabdi kepada bangsa dan negara.
Padahal Marcellinus menjalani pendidikan mulai s1 hingga s3 nya di Jerman. Sebagai dokter ahli, hidupnya sudah pasti penuh kemapanan dan kenyamanan. Semula ia bertugas di rumah sakit besar di Jakarta dengan gaji yang cukup besar. Namun suatu hari idealisme mengetuk nuraninya untuk berbuat lebih jauh.
Kenangan masa kecil, mengingatkan dia pada suatu peristiwa. Saat itu nyawa kakaknya tak bisa tertolong karena penyakit diare. Kemiskinan membuat keluarganya tak mampu membawa sang kakak ke rumah sakit. Sang kakak meninggal hanya karena penyakit yang tampak sepele di kota besar. Seharusnya sang kakak bisa ditolong jika terdapat fasilitas kesehatan yang terjangkau.
Kenangan pahit itu kemudian membuat sang dokter bertekad akan mendirikan rumah sakit apung untuk membantu masyarakat miskin yang tinggal di wilayah terpencil atau perairan. Marcellinus Wellip bertekad akan mendirikan rumah sakit apung untuk membantu masyarakat miskin yang tinggal di wilayah terpencil atau perairan pedalaman Indonesia.
Mengapa rumah sakit apung? Itulah yang efektif untuk menolong pasien di wilayah pedalaman atau terpencil. Di Papua juga banyak pulau kecil yang menjadi tempat tinggal penduduk asli.
Pembuatan kapal memakan biaya mahal , butuh ratusan juta untuk mewujudkannya. Maka ia kemudian nekat menjual rumah satu-satunya. Kenekatan akan idealisme ini yang membuat ia dijuluki 'dokter gila'. Ya, hanya orang yang tergila-gila pada nasionalisme yang sanggup berkorban seperti itu.
Marcellinus Wellip dan beberapa orang timnya berkeliling ke daerah pedalaman hanya untuk mencari pasien yang sakit. Tim nya ini juga tidak dibayar. Mereka bekerjasama tanpa sedikit pun imbalan. Mungkin orang seperti dia hanya ada satu di antara sepuluh ribu. Bayangkan dengan dokter-dokter Jakarta yang hidup bergelimang harta.
Kita butuh Marcellinus-Marcellinus yang lain. Semoga semakin banyak tenaga kesehatan yang mengikuti jejaknya, mengabdikan diri untuk membantu masyarakat dengan ikhlas dan tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar