Selasa, 17 Desember 2024

Setiap Perbuatan Ada Risikonya

Keluarga Sunhaji


Belajar dari peristiwa tentang seorang ustadz dihujat masyarakat setelah video penghinaan terhadap penjual es teh viral, menjadi bukti bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi. Sebagai figur publik, tindakan tercela yang dilakukan berulang kali tidak hanya mencoreng nama baiknya, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat. 

Akhirnya, ia diberhentikan dari jabatannya sebagai bentuk reaksi atas perbuatannya. Hal ini mencerminkan bahwa siapa yang menanam perbuatan buruk, pada akhirnya akan menuai dampak negatifnya, sebagaimana hukum sebab-akibat berlaku dalam kehidupan.

Namun, kejadian ini juga dapat dilihat sebagai bentuk teguran Allah agar pelaku menyadari kesalahannya. Kehilangan jabatan dan kehormatan bisa menjadi jalan introspeksi untuk memperbaiki diri dan bertobat dari perilaku buruknya. 

Dalam Islam, ujian sering kali hadir sebagai bentuk kasih sayang Allah agar hamba-Nya kembali ke jalan yang benar. Jika pelaku memanfaatkan momen ini untuk memperbaiki akhlak dan hubungan dengan Allah, musibah ini justru dapat menjadi awal dari perbaikan hidupnya di masa depan.

Di sisi lain, korban penghinaan mendapatkan simpati luas dari masyarakat. Bantuan berupa uang ratusan juta, sepeda motor, rumah, hingga hadiah umrah menunjukkan bahwa Allah tidak membiarkan hamba-Nya yang terzalimi.

 Solidaritas masyarakat juga menjadi wujud empati dan penghargaan terhadap kesabaran korban. Hal ini membuktikan bahwa setiap musibah, jika dihadapi dengan ikhlas, dapat berubah menjadi jalan rezeki dan keberkahan yang tak terduga.

Peristiwa ini memberi banyak pelajaran. Bagi pelaku, ini adalah teguran untuk berubah. Bagi korban, ini adalah ujian kesabaran dan rasa syukur. 

Sementara bagi masyarakat, ini mengajarkan pentingnya empati dan keadilan. Pada akhirnya, setiap perbuatan, baik maupun buruk, akan membawa dampaknya, dan Allah senantiasa memberikan hikmah bagi mereka yang mau mengambil pelajaran.


#sunhaji#

#penjualesteh 

#muhasabah 

#hikmah

Senin, 16 Desember 2024

Mengenal Over Parenting: Menciptakan Anak Manja

 

Dokter muda yang manja (dok.kumparan)

Baru-baru ini terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak muda terhadap orang lain. Baik itu dilakukan sendiri ataupun memerintahkan anak buahnya. Sikap mereka menunjukkan bahwa mereka adalah anak yang terbiasa manja dan dimanjakan oleh orang tuanya.  Ini disebut "anak mahal".

Fenomena "anak mahal" dari keluarga kaya terjadi ketika orang tua terlalu memanjakan dan membela anak mereka tanpa batas. Pola asuh ini sering disebut overparenting  atau helicopter parenting, di mana orang tua selalu menyediakan segala kebutuhan anak, bahkan melindungi mereka dari konsekuensi kesalahan. 

Hal ini biasanya dilatarbelakangi kemampuan finansial yang berlebih, keinginan melindungi anak dari kesulitan hidup, serta kurangnya pemahaman tentang pengasuhan yang seimbang antara kasih sayang dan kedisiplinan. Akibatnya, anak tumbuh dengan pola pikir bahwa mereka selalu benar dan pantas mendapat perlakuan istimewa.

Dampak pola asuh ini pada anak cukup serius. Anak cenderung menjadi kurang mandiri karena terbiasa bergantung pada orang tua dalam menghadapi tantangan hidup. Selain itu, mereka sering menunjukkan perilaku egois dan sulit menerima penolakan atau kritik.

 Ketika harus menghadapi realitas dunia kerja atau konflik sosial, anak-anak ini rentan mengalami kesulitan beradaptasi. Tidak jarang pula muncul masalah psikologis, seperti tekanan emosional akibat ekspektasi tinggi orang tua yang tidak diimbangi dengan keterampilan hidup yang memadai.

Bagi orang tua, pola asuh seperti ini juga berdampak negatif. Mereka kerap merasa frustrasi ketika anak tidak menunjukkan tanggung jawab atau kemandirian meskipun diberi fasilitas berlimpah.  

Dalam jangka panjang, anak yang tidak mandiri akan terus bergantung pada orang tua bahkan hingga dewasa, menciptakan beban tambahan bagi keluarga. Konflik internal juga sering muncul ketika orang tua mulai merasa gagal dalam pengasuhan, yang bisa merenggangkan hubungan keluarga.

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi orang tua untuk mendidik dengan keseimbangan antara kasih sayang dan kedisiplinan. Anak perlu diajarkan nilai kerja keras dan kemandirian sejak dini, dengan memberi mereka ruang untuk membuat keputusan dan belajar dari konsekuensinya. Selain itu, orang tua harus memahami bahwa tantangan adalah bagian dari proses pendewasaan anak.

Anak manja (dok.cnn)


#parenting 

Rabu, 13 November 2024

Novel Kapak Algojo dan Perawan Vestal Raih Rekor Muri

 


Mungkinkah sebuah buku mendapatkan rekor Muri? Ternyata bisa lho. Ini yang paling membuat saya terkesan. Sebuah novel garapan 33 orang penulis berhasil meraih rekor Muri. Bagaimana ceritanya?

Tiga tahun lalu di masa pandemi Covid 19, ada teman yang menggagas ide untuk menulis novel beramai-ramai. Ini untuk mengisi waktu karena kami lebih banyak di rumah karena takut tertular virus Corona. Ide ini kami sambut baik, dan mulailah berjalan. 

Setiap penulis mendapat jatah menulis satu bab dan diberi waktu selama lima hari untuk menulis satu bab tersebut. Setelah selesai, dilanjutkan dengan penulis kedua yang menulis bab dua. Begitu seterusnya hingga bab 33. 

Tentu saja setiap bab harus bersambung dan berhubungan dengan bab sebelumnya. Ini yang membuat penulis harus membaca dengan seksama jangan sampai salah. Apalagi bab yang belakangan, banyak yang harus dibaca. 

Setiap penulis bisa mengembangkan imajinasi, tetapi tetap mengacu pada plot cerita utama. Penyesuaian dengan tema dan juga dengan kisah yang dituturkan penulis lain. Jadi merupakan kesatuan dalam perbedaan. 

Ini kelihatan gampang, padahal sebetulnya cukup sulit karena setiap penulis memiliki gaya cerita yang berbeda, selera yang berbeda. Di sinilah dituntut kemahiran penulis ketika menyatukan diri dengan beragam penulis.

Keunikannya, semua penulis punya latar belakang yang berbeda, baik pendidikan maupun profesi. Maklum di Indonesia, jarang Penulis yang bisa "makan" dari menulis.

Oh ya, dalam novel ini saya menulis bab 30.  Novel ini mengisahkan tentang cinta dan dendam yang terbentang hingga ke beberapa benua. Silakan pesan di penerbit One Peach Media. 

Saya, novel Kapak Algojo dan Perawan Vestal (dok.pri)


Selasa, 05 November 2024

Rengkuh Bayu Mahandaru Menyulap Pelepah Pinang Menjadi Pengganti Plastik

Rengkuh Bayu Mahandaru sebagai narasumber (dok.astra)

 Satu hal yang harus kita akui, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bergerak di bidang keberlanjutan terus berkembang pesat. Ini seiring sejalan dengan meningkatnya kepedulian masyarakat hingga korporasi terhadap isu lingkungan dan ESG (Environmental, Social, Good Governance).

Salah satunya adalah "Plepah",  sebuah perusahaan rintisan yang didirikan oleh Rengkuh Banyu Mahandaru yang berhasil memproduksu kontainer makanan dari bahan baku pelepah daun pinang pada 2018. Sebuah inovasi yang tak pernah terpikirkan oleh banyak orang.

Namun justru ide yang didapat Rengkuh Bayu Mahandaru, terinspirasi dari kehidupan masyarakat di zaman dahulu. 

"Idenya kembali pada kebiasaan leluhur kita dulu, yang membungkus makanan dengan menggunakan dedaunan. Itu coba kami lakukan kembali dan bisa dijadikan sebuah bisnis yang keren," ungkap Rengkuh Bayu Mahandaru.

Ide ini timbul ketika ia melihat kondisi laut di Indonesia banyak yang tercemar oleh berbagai material pembungkus makanan, baik yang terbuat dari plastik maupun styrofoam. Rengkuh pun kemudian menemui  masyarakat yang tinggal di Jambi. Ternyata mereka masih menggunakan daun pinang sebagai alat pembungkus makanan. Sejak saat itu, dia mengaku terinspirasi oleh tradisi masyarakat setempat, dan berupaya membawanya ke level lebih besar, melalui Plepah. 

"Kami mencoba lebih aware terhadap potensi material dari sumber daya lokal untuk dihilirisasi," kata Rengkuh.

Awalnya , tentu saja produksi masih kecil-kecilan, kemudian meningkat. Kini Plepah bisa menyuplai pembungkus makanan ramah lingkungan hingga lebih dari 120 ribu kontainer makanan per bulan. Usaha Rengkuh juga berhasil mengangkat pendapatan petani dan pengumpul pelepah pinang di tempat-tempat mereka bekerja.

Ironinya, Rengkuh melihat bahwa usahanya yang semula membawa pesan keberlanjutan bagi masyarakat Indonesia agar lebih peduli pada penggunaan material ramah lingkungan,  ternyata belum 'ditangkap' optimal oleh konsumen dalam negeri. Hal itu tercermin dari besarnya jumlah pesanan yang berasal dari luar negeri. Pasar luar negeri lebih tinggi dari dalam negeri. 

"Berorientasi pada profit memang menyenangkan, tapi berorientasi pada dampak justru menyedihkan. Ketika ini  dimulai, justru yang ingin disasar adalah isu dalam negeri. Mungkin belum saatnya," keluh Rengkuh.

Meskipun demikian, di masa mendatang Rengkuh bertekad terus meningkatkan kapasitas sambil berusaha mengefisienkan ongkos produksi agar produk Plepah bisa dijual lebih murah. Ini penting agar lebih banyak orang tergerak untuk menggunakannya. 

“Sustainability bukan hanya tentang tanggung jawab, tapi juga tentang membuka potensi tanpa batas," tegasnya.

Kontainer, wadah makanan dari pelepah 
(Dok. Rengkuh Bayu Mahandaru)

Keinginan Rengkuh Bayu Mahandaru adalah bahwa salah satu fokus bisnisnya di masa depan adalah mengeksplorasi lebih dalam tentang limbah pertanian. Menurut dia, hal tersebut memiliki nilai ekonomi untuk dikembangkan sebagai bahan dasar penghasil energi baru terbarukan (EBT).

"Selain itu, limbah pertanian juga bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas tanah dan produktivitasnya, setelah tercemar oleh berbagai bahan kimia yang digunakan sebagai pupuk," jelas Rengkuh.

Dengan langkah kecil ini, Rengkuh berharap bisa lebih berkontribusi pada perbaikan lingkungan, khususnya pengurangan sampah di Indonesia. Ini membuka   potensi pemanfaatan berbagai sumber daya lokal untuk bisa digunakan secara berkelanjutan dengan program berkesinambungan.

Kegigihan Rengkuh Bayu Mahandaru membuahkan hasil. Ia menerima Apresiasi 14th SATU Indonesia Awards 2023 Kategori Kelompok. Bahkan Rengkuh Banyu Mahandaru telah berbagi kisah inspiratif sebagai Pejuang Lingkungan Bermodal Limbah Pelepah.

"Sustainability bukan hanya tentang tanggung jawab, tapi juga tentang membuka potensi tanpa batas. Dengan mengintegrasikan inovasi dan konservasi, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik dan sejahtera semua," ujar Rengkuh.

Piring dari pelepah pisang (dok.rengkuh)


Tahun ini Astra menggelar 15th SATU Indonesia Awards 2024, dengan mengusung tema 'Bersama, Berkarya, Berkelanjutan. Ajang penghargaan ini merupakan bentuk komitmen Astra untuk bermanfaat bagi bangsa dan negara. Apresiasi yang diharapkan dapat semakin banyak menjaring generasi  muda inspiratif bangsa yang senantiasa semangat membangun negeri bersama, berkarya, berkelanjutan untuk hari ini dan masa depan Indonesia.

Perjalanan Astra diawali dari  langkah kecil generasi muda yang memberi perubahan besar bagi masyarakat sekitarnya.  Hingga kini terus membawa SATU Indonesia Awards secara konsisten dan berkesinambungan menjaring dan mengapresiasi pemuda inspiratif bangsa yang senantiasa berkontribusi mendukung tercapainya pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.

SATU Indonesia merupakan langkah nyata dari Grup Astra untuk turut berperan aktif serta memberikan kontribusi demi meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia melalui karsa, cipta, dan karya terpadu untuk memberikan nilai tambah bagi kemajuan bangsa Indonesia. Sejak tahun 2010 Astra telah menyelenggarakan SATU Indonesia Awards.

SATU Indonesia Awards adalah salah satu bentuk komitmen Astra untuk 'Menjadi Milik yang Bermanfaat bagi Bangsa dan Negara', sebagaimana tertuang dalam butir pertama filosofi Catur Dharma Astra. 

Para pemenang SATU Indonesia Awards (dok.astra)






Minggu, 03 November 2024

Gede Andika Mengajar Bahasa di Pulau Dewata

 

Gede Andika (dok.idntimes)

KREDIBALI merupakan kependekan dari Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan yang berada di Bali. Didirikan oleh I Gede Andika Wira Teja atau yang lebih sering dikenal dengan nama Gede Andika.

Lelaki muda itu merupakan seorang akademisi, Policy Researcher, sekaligus Social Worker. Kredibali sendiri adalah anak program dari Jejak Literasi Bali yang didirikannya pada tahun 2019. 

Langkah Awal 

Setelah menempuh pendidikan di Universitas Udayana selama 5 tahun, Gede Andika pulang ke Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali. Waktu itu bertepatan dengan perayaan Nyepi pada bulan Maret 2020. Gede Andika sudah bekerja dan bisa bekerja dari rumah (WFH) karena pandemi Covid 19. Pada saat yang sama, ia pun menunggu pendaftaran kampus untuk melanjutkan studi.

Gede Andika seringkali prihatin melihat kondisi sekitar ketika berkuliah di Bali Hatinya terketuk untuk berbuat lebih banyak, menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat. 

Sambil melepas kangen, ia jalan-jalan berkeliling kampung. Desa Pemuteran memang kecil, tetapi terkenal eksotik karena posisinya diapit oleh pesisir dan perbukitan. Orang-orang Bali menyebut desa ini sebagai "Negara Gunung" karena ada bukit di sebelah selatan, laut di sebelah utara, dan di tengah-tengahnya ada desa yang menawan.

Bersamaan dengan keberadaannya, anak-anak di desa tersebut sudah menerapkan pembelajaran daring. Aturan tersebut sudah pemerintah terapkan dengan tujuan untuk menekan angka penyebaran COVID-19 di lingkungan pendidikan.

"Dari sisi yang lain, ketika kebijakan tersebut diberlakukan, saya banyak menjumpai anak-anak yang tidak bisa mengikuti kelas daring tersebut," papar Gede Andika.

Gede Andika kuatir jika hal seperti ini dibiarkan, angka putus sekolah akan semakin meningkat. Menurut data dari Kemendikbud pada 2015/2016, Kabupaten Buleleng menjadi kabupaten dengan angka putus sekolah paling tinggi di Provinsi Bali. Dari sanalah, tercetus program KREDIBALI.

 Berembuk 

Butuh pengamatan yang saksama dan diskusi dengan beragam pihak untuk merealisasikan program ini. Untungnya , Gede Andika memang sudah membangun komunitas Jejak Literasi Bali sejak 2019. Ada beragam program edukasi anak, seperti mendongeng, mewarnai, membaca, menata perpustakaan, mengumpulkan donasi buku, dan lain-lain.

Sebetulnya tidak mudah bagi Gede Andika dalam merintis program ini. Banyak halangan, rintangan, dan pengorbanan. Antara lain,   ia harus rela untuk membatalkan kuliah S2 dan beasiswa yang telah didapat. la harus fokus pada apa yang telah direncanakan. Dengan keputusan yang telah diambil ini artinya ia dapat lebih membantu banyak orang.

Gede Andika di kelas (dok.gnfi)


Kondisi anak-anak pada masa Covid 19, banyak  yang tidak dapat melanjutkan sekolah karena terkendala perangkat dan jaringan. Tidak semua anak memiliki perangkat dan jaringan yang mumpuni untuk dapat mengikuti program sekolah dari rumah. Anak-anak menjadi berputus asa dan memilih untuk membantu keluarga dalam mencukupi kebutuhan ekonomi. Seperti ikut orang tua menyabit rumput untuk pakan ternak dan membantu melaut bagi anak yang orang tuanya berprofesi sebagai nelayan.

Lalu, Gede Andika mencoba untuk menganalisis lebih dalam tentang apa yang sebaiknya dapat ia perbuat agar lebih bermanfaat dan juga mendapat dukungan dari masyarakat dan lain-lain. KREDIBALI adalah program yang bertujuan mengajarkan anak-anak belajar bahasa, terutama bahasa Inggris, dengan metode kreasi atau yang menyenangkan. Kendala yang paling dirasakan Gede Andika adalah bagaimana cara mengajari anak-anak di masa pandemi ini. Tentunya ada banyak hal yang perlu disiapkan, mulai dari perizinan hingga menerapkan protokol kesehatan dengan baik.

Gede Andika mencoba melakukan pengamatan dari Maret-Mei 2020. Ia pun bertukar pikiran dengan pihak desa, Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) di Desa Pemuteran untuk membangun kelas luring sesuai protokol kesehatan.

la melihat bahwa Bali sangat kaya dalam sektor pariwisatanya, namun karena pandemi sektor pariwisata yang dulunya penuh,  berubah drastis menjadi sepi. Karena itulah  Kredibali sangat sesuai  untuk membantu anak-anak SD dan SMP  mendapat pelatihan Bahasa Inggris.

Gede Andika bersama murid-muridnya (dok.idntimes)


Uniknya, pelatihan Bahasa Inggris yang diberikan oleh Kredibali tidak semata- mata gratis. Anak-anak yang belajar harus membawa sampah plastik sebagai alat tukar atas ilmu yang mereka dapat. Pemilihan sampah plastik sebagai alat tukar tidak lain adalah karena alasan sampah plastik dan pariwisata adalah dua masalah yang saling berhubungan. 

Namun di Desa Batur,  anak-anak harus membayar pelatihan Bahasa Inggris dari Kredibali dengan menyiram pohon sebelum berangkat belajar. Ini karena maraknya penggundulan hutan di daerah sana. Jadi, harus menjalankan program penyelamatan tanaman. 

Anak-anak begitu antusias menyambut dan menjalani KREDIBALI ini. Sampai hari ini, sudah ada 3 periode dengan total sekitar 225 siswa. Dari  jumlah itu, 150 siswa sudah terukur kemampuannya dengan jelas.

Literasi lingkungan 

Selain edukasi bahasa, Gede Andika pun mengajarkan literasi lingkungan kepada anak-anak. Apa itu literasi lingkungan? Dilansir North American Association for Environmental, literasi lingkungan adalah kepedulian dan kesadaran akan lingkungan dan masalah-masalahnya, termasuk pengetahuan, keterampilan, dan motivasi untuk mencari solusi dan mencegah permasalahan baru.

Lantas, metode seperti apa yang dilakukan Gede Andika? la mengajarkan anak-anak tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan meminta mereka untuk mengumpulkan sampah plastik sebelum mengikuti kelas bahasa.

Bekerja sama dengan Plastic Exchange, lembaga nirlaba bak sampah di Bali, sampah- sampah dari para siswa tersebut akan ditimbang dalam satuan kilogram. Dengan seperti ini diharapkan anak- anak penerus bangsa menjadi lebih menaruh perhatian pada lingkungan, khususnya pada sampah. Anak-anak menjadi mengerti bahwa sampah, hal yang kerap dipandang sebelah mata juga memiliki arti. Program ini juga membuat orang tua lebih tersadarkan oleh anak.

Gede Andika di kelas (dok.idntimes)


Anak-anak menjadi inisiator, anak-anak sebagai pemberi reminder di keluarga, mereka dapat mengedukasi orang tuanya seberapa bahaya sampah jika hanya dibiarkan, dan seberapa bermanfaatnya apabila sampah dikelola dengan baik.

Sampah-sampah yang telah terkumpul tersebut bukanlah untuk para sosok di balik Kredibali, namun sampah tersebut nantinya akan ditukarkan lagi menjadi beras dan disumbangkan kepada lansia yang kurang mampu.

Salah satu capaian membanggakan dari Kredibali tentang sampah adalah untuk Desa Pemuteran telah mendapat 781 kg sampah yang ditukarkan menjadi beras sebanyak 320 kg dan telah disalurkan kepada 127 lansia yg membutuhkan.

Lalu, untuk daerah Desa Gianyar telah memperoleh 314 kg sampah yang ditukarkan dengan 118 kg beras dan disalurkan kepada 72 lansia.

Menurut Gede Andika, pembatalan master yang ia lakukan rasanya sangat sebanding dengan dampak yang didapatkan sekarang. Di daerah Batur ada satu hutan lindung, yang mana di kawasan tersebut ada sekelompok masyarakat yang sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di sana.

Satu anak di sana menanam satu pohon, mereka harus menjaga pohon tersebut hingga tumbuh dengan baik. Meskipun ini membutuhkan waktu panjang, namun hasilnya juga akan berdampak panjang. Penggundulan hutan yang terjadi di sana, perlahan tapi pasti mulai hijau kembali.

Pemulung (dok.idntimes)


Atas dampak-dampak baik yang didapatkan membuat para penggerak Kredibali dan Jejak Literasi Bali menjadi semakin bersemangat dalam mengabdi. Betapa megahnya Bali yang dilihat orang-orang di luar sana, tidaklah terlihat benar-benar demikian.

Masih banyak anak-anak yang butuh uluran kebaikan, meraka yang di pelosok, mereka yang kurang mampu, mari sama-sama kita bantu. Jangan sampai mereka merasa malu. Mari setarakan pembangunan sumber daya manusia dan Pendidikan yang pantas untuk seluruh rakyat Indonesia.

Berkat kerja kerasnya, Gede Andika  menerima Apresiasi Kategori Khusus: Pejuang tanpa Pamrih di Masa Pandemi COVID-19 dalam 12th SATU Indonesia Awards tahun 2022. Baktinya kepada anak-anak Indonesia sangat inspiratif dan layak untuk jadi panutan para pemuda Indonesia.

Apresiasi SATU Indonesia Awards yang diberikan kepada anak bangsa yang senantiasa memberi manfaat bagi masyarakat dalam lima bidang, yaitu Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.

Gede Andika (dok.astra)




Jumat, 01 November 2024

I Gede Merta Yoga Pratama, Sosok Penolong Nelayan

 

Yoga Pratama (dok.haluanbali)

Sebagai negara kelautan, Indonesia dianugerahi  hasil laut berlimpah. Masyarakat pesisir di beberapa daerah Indonesia mengandalkan hasil tangkapan ikan untuk menyambung hidup, tidak terkecuali di Bali. Namun, nelayan- nelayan kecil di Bali pada awalnya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mencari ikan karena hanya bermodalkan insting dan pengalaman di laut.

Kemudian perairan laut tersebut tidak bisa menjanjikan karena adanya,   kapal besar yang mampu mengambil hasil laut lebih banyak. Akibatnya, hal ini bisa membuat mereka kesulitan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang optimal. Itu sebabnya, kehidupan nelayan sebenarnya tidak benar-benar makmur meski potensi hasil laut Indonesia melimpah.

Untunglah ada seseorang yang peduli dan memikirkan nasib para nelayan. Dia adalah seorang pemuda dengan latar belakang information technology (IT), mengerahkan kemampuannya untuk membantu para nelayan kecil di Bali menangkap ikan lebih banyak dengan bantuan aplikasi ponsel. Dialah I Gede Merta Yoga Pratama. 

Berawal dari praktik kerja lapangan, I Gede Merta Yoga Pratama memiliki ide yang mampu membantu nelayan mencari ikan secara optimal. Ia bersama sembilan temannya membuat aplikasi bernama Fish Go. Melalui aplikasi ini, nelayan mampu memetakan jenis ikan di suatu wilayah tangkapan.

Sebetulnya ide tersebut sudah muncul sejak tahun 2015. Lalu mencoba  diwujudkan setahun kemudian bersama teman-temannya. Hingga 2018, aplikasi Fish Go telah mendapat berbagai penghargaan di kompetisi regional dan nasional. Harapan mereka, ingin menyejahterakan nelayan dengan aplikasi yang mereka rancang. Kita simak bagaimana kisah Yoga Pratama dan tim Fish Go membantu nelayan daerah.

Yoga Pratama dan aplikasi Fish Go (dok.lpdp)


Bagaimana fish go bermula 

Ternyata Fish Go muncul dari keresahan mereka akan kondisi nelayan Indonesia, khususnya Provinsi Bali. Kita ketahui, Indonesia memiliki potensi yang melimpah di bidang kelautan dan perikanan karena luas laut Indonesia yang luar biasa. 

Berdasarkan data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS), 20% masyarakat kurang mampu di Indonesia itu bermata pencaharian sebagai nelayan. Ini sungguh suatu ironi, Indonesia yang dua per tiga wilayahnya laut, masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, malah merupakan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

Yoga Pratama melakukan praktik kerja di Balai Penelitian dan Observasi Laut di daerah Jembrana, Bali. "Saya mendapatkan ilmu bahwa daerah potensi penangkapan ikan dapat diprediksi lewat citra satelit yang didapat dari data karakteristik ikan."

Akhirnya, mereka menggunakan data selama 10 tahun terakhir untuk menghasilkan peta daerah prediksi dengan hasil akurasi yang baik. Ibaratnya, dari 10 trip, yang tujuh gagal. Kita perkecil sampai lima trip gagal, terus menerus kita lakukan, sampai mendapatkan akurasi terbaik. Sebagian besar persentase dana, kami alokasikan untuk penelitian di laut dan pengembangan aplikasi.

Yoga menerangkan Fish and Go (dok.lpdp)

Meskipun Fish Go secara ide sudah muncul sejak 2015, tetapi baru mulai mengikuti kompetisi dari 2016, dari tingkat provinsi regional hingga nasional. Kemudian Fish Go mulai berkembang semenjak memenangkan kompetisi Innovation Festival di 2017.

Apa saja manfaat Fish Go? Daerah potensial penangkapan, rute penangkapan, dan waktu penangkapan terbaik. Fish Go mudah digunakan nelayan dengan memberikan daerah potensial penangkapan hingga tingkat spesies. Pemberian rute penangkapan sehingga membantu nelayan mengestimasi bahan bakar yang akan digunakan.

Memang ada aplikasi yang karakternya sejenis dengan Fish Go, tapi tidak spesifik hingga sampai ke jenis ikan, resolusi spasialnya lebih luas, sedangkan Fish Go lebih spesifik.

Kendalanya, jika melebihi 6-9 mil kadang terjadi permasalahan sinyal. Jadi, diatasi dengan penggunaan GPS eksternal yang sudah disiapkan sebelumnya, koordinat yang didapatkan dari aplikasi Fish Go.

I Gede Merta Yoga Pratama dengan aplikasi yang diciptakan (dok.astra)


Sosialisasi Fish Go kepada nelayan 

Yoga Pratama dan rekan-rekannya melakukan pendekatan dengan turun langsung ke lapangan ikut melaut dengan nelayan dan mengarahkan. Dimulai dari satu nelayan, setelah itu  menyebar ketika sudah melihat hasil yang bisa  ditawarkan. Mereka melakukan uji coba di kelompok-kelompok nelayan Kabupaten Badung dan Karangasem, khususnya di Desa Seraya.

Bagusnya, nelayan tidak wajib  memiliki ponsel android. Nelayan beroperasi mencari ikan tidak satu kapal saja, tetapi berkelompok, setiap satu kelompok nelayan memiliki satu ponsel android saja sudah cukup. Mereka bisa berbagi. 

Langkah selanjutnya, Yoga Pratama dan tim  ingin membantu bukan hanya sebagai penyedia jasa penunjuk arah daerah, prediksi, melainkan juga ingin membantu nelayan memasarkan ikannya ke masyarakat luas.

Targetnya , Fish Go bisa diaplikasikan di seluruh Indonesia. Namun, untuk mencapai target itu perlu penelitian dan pengembangan yang lebih lanjut, terutama terkait dengan karakteristik perairan di tiap-tiap daerah di Indonesia. 

"Kami membutuhkan campur tangan pemerintah setempat maupun pusat, untuk mendukung penelitian kami ini," kata Yoga.

Mereka berharap Fish Go mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya nelayan, dan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia menjadi poros maritim dunia.

Tentu akan lebih baik jika terkoneksi ke sektor yang terkait, yakni sektor kelautan dan perikanan. Fish Go tidak bisa berdiri sendiri, untuk membuat perubahan, dibutuhkan gerakan masif dari seluruh generasi muda di Indonesia untuk membantu menumbuhkan kesadaran bahwa teknologi bisa membantu kehidupan nelayan-nelayan di Indonesia.

Masyarakat Bali sudah merasakan manfaat dari aplikasi ini. Sekitar 50 orang nelayan yang menggunakan Fish Go sangat bersyukur  karena perolehan hasil tangkapan nelayan pun meningkat dari 40-60kg per hari menjadi 100 kg per hari.

Karya Fish Go ini, menjadikan Yoga sebagai sosok penerima Apresiasi  SATU Indonesia Awards 2020 bidang teknologi. Sebagaimana diketahui, Astra internasional selalu memberikan apresiasi kepada orang-orang yang berprestasi, berinovasi untuk memajukan negeri. 

I Gede Merta Yoga Pratama dengan 
Penghargaan dari Astra (dok.astra)



Selasa, 29 Oktober 2024

Hendro Yulius Suryo Putro Membumikan Robotik Untuk Anak Muda

Hendro merakit robot (dok.astrainternasional)

 

Hendro Yulius Putro punya cita-cita memperluas teknologi robotik untuk turut membangun Indonesia. Caranya, tentu saja dengan keahlian yang dia miliki. Sebuah obsesi yang terus berusaha diwujudkan. Meskipun butuh perjuangan, kesabaran dan memakan waktu lama, cita-cita tersebut dituangkan dengan mendirikan sekolah robotik Yayasan Adicita Wiraya Guna (AWG) Robotic Course di Surabaya.

Seiring dengan berjalannya waktu, sekolah itu kini memiliki banyak siswa berprestasi pada bidang robotika, baik di dalam dan luar negeri. Berkat usahanya memperkenalkan robot ke anak-anak, Hendro memperoleh penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia tahun 2019.

Ternyata, alumnus Universitas Negeri Surabaya ini menjadi orang pertama yang menggagas ide ekstrakurikuler bidang teknologi robot di sekolah. Ide itu muncul setelah sekolah tempatnya mengajar hampir tutup karena kekurangan siswa. Melalui ekstrakurikuler robotika itu, Hendro berhasil mendongkrak nama sekolah SMP Islam Al Azhar 13 Surabaya. Ia kemudian diminta menjadi  wakil kepala sekolah.

Ekstrakurikuler ini berhasil meraih prestasi yang tidak main-main. Dengan mengikuti beberapa lomba dan event internasional tanpa kenal lelah. Terhitung satu tahun setelah ide tersebut muncul, Hendro menyabet penghargaan khusus di Olimpiade Robot Internasional yang saat itu berlangsung di kota Beijing, China.

Hendro dan perangkat robot (dok.astrainternasional)

Kesuksesannya itu membuat ia yakin bahwa setiap sekolah bisa membangun negeri lewat teknologi dan robot. Karena itulah ia mendirikan Yayasan AWG Robotic Course pun yang menjadi motor pengembangan robotik. 

"Masa depan adalah milik kita yang menyiapkannya sekarang. Kelak, peran teknologi akan mendisrupsi banyak hal," tegas Hendro. 

Sekarang, Yayasan tersebut berkembang pesat, telah memiliki lebih dari 400 siswa dan bekerja sama dengan 21 sekolah di Surabaya, Solo, Pasuruan, Gresik, Palu, hingga Sorong.

Awal mula ide Robotik 

Lelaki yang lahir Mojokerto, 18 Mei 1985 ini, memiliki pemikiran out of the box, wawasannya jauh ke depan, di luar jangkauan pemikiran banyak orang. la mengikuti perkembangan   zaman, seperti teknologi yang terus melesat dari waktu ke waktu.

"Bermula dari tahun 2007, ketika saya diterima bekerja di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Islam al-Azhar 13 Surabaya. Saya jadi guru mata pelajaran fisika," cerita Hendro lugas.

Hendro mengatakan bahwa waktu itu jumlah muridnya setiap tahun mengalami penurunan. Saat pertama kali ia mengajar, murid kelas VII cuma 6 orang. Lalu, murid kelas VIII ada 14 orang. Sedangkan murid kelas IX mencapai 32 orang.

"Dulu, mencari murid itu susah sekali.  20 orang saja, susahnya minta ampun," katanya menghela napas.

Akibatnya, pada awal tahun 2008, menjadi puncak seluruh kegelisahan. Sampai-sampai, pengurus yayasan ingin menutup SMP Islam al-Azhar 13. Hendro tidak rela bila hal itu terjadi. Dengan penuh keyakinan, Hendro bergegas menawarkan sebuah solusi sebagai bentuk kepedulian.

Dengan penuh keberanian, Hendro  lulusan jurusan fisika Universitas Negeri Surabaya (UNESA, 2006) ini berseru lantang, "Saya siap berjuang. In Insyaallah bisa. Minimal dapat murid 20 orang."

Ternyata gayung bersambut, Hendro tak ingin menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan oleh pihak yayasan. Ikhtiar yang ia kerjakan secara total selama sekira 5 bulan berbuah kabar yang menggembirakan. Tahun ajaran baru 2008, SMP Islam al-Azhar 13 mendapat murid 20 orang. 

"Alhamdulillah, sesuai harapan," ungkapnya bersyukur.

Putra dari pasangan Gatot Supriadi dan Siti Aminah ini mendapat amanah baru sebagai wakil kepala sekolah. Apalagi susahnya mencari murid masih menjadi masalah utama sekolah yang dipimpinnya. Karena itu, Hendro berinisiatif mencari jalan keluar yang benar-benar mampu menuntaskan persoalan itu.

"Nah, tahun 2010-2011 ramai-ramainya Kontes Robot Indonesia (KRI). Kalau nggak salah, tahun 2010, KRI pernah diadakan di Kampus ITS. Waktu itu, saya lihat, kok asyik ya. Seru. Kemudian saya mikir, ini kan brand-nya teknologi. Sudah mulai akan tergantikan fungsi-fungsi pekerjaan manusia menjadi robot," jelasnya mengenang.

Sepulang dari acara KRI, Hendro mendapat ilham  untuk membuat program bidang teknologi, supaya menghasilkan karya yang baik. Program ini harus bisa diterima oleh masyarakat dengan baik. Dan yang paling utama adalah mampu mendongkrak nama sekolahnya.

Kemudian ia memutuskan  membuka ekstrakurikuler (ekskul) robotika tahun 2011. Padahal, dia belum memahami secara mendalam tentang robotika.

Berusaha keras mencari Mentor Robotika

Hendro menyadari bahwa dirinya tak mengerti sama sekali seluk beluk dunia robotika. Karena itu, ia harus mencari mentor khusus. Kebetulan Hendro dapat rekomendasi seorang mahasiswa  jurusan fisika. Karena waktu itu belum mengerti tentang robotika, maka, ia menerima mahasiswa tersebut menjadi mentor ekskul robotika SMP Islam al-Azhar 13 Surabaya.

Untuk pertama kalinya, murid-murid diajari membuat Robot Land Flower (Penyiram Tanaman) menggunakan analog, bukan sensor.

"Anak-anak bisa nyolder. Robot bisa jalan mengikuti garis lintasan. Lihat anak-anak bisa melakukan hal itu, saya ikut senang. Bahagia sekali. Lalu, saya tantang guru robotika ini agar mengikutsertakan anak- anak dalam lomba robotika sampai dapat juara. Harapannya supaya bisa membangun nama baik sekolah," tuturnya.

Namun keberuntungan belum memihak murid-muridnya. Tim perdana yang diikutkan lomba robotika untuk pertama kalinya kalah. Selain itu, Hendro juga tak dapat mendampingi mereka karena harus menghadiri kegiatan lain di Pasuruan, Jawa Timur.

Hendro bersama anak-anak (dok.hendro)


Tidak patah arang, pada Oktober 2011, beberapa tim diberangkatkan untuk mengikuti lomba robotika. Lokasinya bukan lagi di Kampus UNAIR Surabaya. Tetapi di SMP Negeri 4 Jombang. Hendro pun ikut mendampingi.

"Robot Line Follower kompetitor jalannya banter-banter (kencang). Ibaratnya, kualitas robotnya bagus-bagus. Sementara, kita bawa 2 sensor robot yang jalannya gedhek-gedhek. Pelan banget. Bahkan untuk menyelesaikan 1 misi saja tak mampu. Dari situ, saya minta mentor supaya mengajari anak-anak membuat robot seperti milik kompetitor, tapi ia tak sanggup dan mengundurkan diri," jelasnya.

Setelah mentor pertama gagal memenuhi target yang disepakati, ia pun segera mencari pengganti.  Kampus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), yang tak jauh dari lokasi AWG Robotica Course menjadi target utama suami dari Anis Kusuma ini, dalam berburu mentor yang kedua.

"Padahal, saya nggak tahu harus menemui siapa. Pokoknya jalan saja. Pikiran saya waktu itu masak nggak ada UKM-UKM robotika di sana," Hendro tersenyum .

Setelah berjalan tanpa arah serta tujuan di Kampus PENS, ketika menyusuri lantai 2 sebuah gedung ia mendapati ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Di pintu terdapat tulisan, "Selain Crew Dilarang Masuk".

"Karena penasaran, saya dekati, melihat sekilas ke dalam ruangan. Ada banyak sekali robot. Saya beranikan diri masuk. Ternyata ada orang. Dia kaget sebab saya muncul tiba-tiba," kenangnya tertawa.

Dari situlah, Hendro mendapat rekomendasi lagi. Namanya Rodik. Mahasiswa PENS jurusan robotika. "Kami pun   membuat kesepakatan," katanya.

Hendro mulai bisa bernapas lega. Sensor robot semula lelet, menjadi sangat laju, oleh Rodik berhasil diubah menjadi lumayan cepat. la mengamati, jika teknologi yang digunakan antara mentor pertama dengan mentor keduanya jauh berbeda.

Hendro dan murid-murid (dok.hendro)


"Nah, April 2012, ada lomba robot pembersih sampah di ITS Expo. Kami ajari anak-anak bikin robot untuk ikut lomba tersebut. Alhamdulillah mendapat juara pertama, itu pertama kalinya dilatih Mas Rodik. Saya bahagia sekali. Termasuk anak-anak. Apalagi orangtuanya. Pihak yayasan pun  sangat bangga" urainya.

Kerjasama antara Hendro dan Rodik, menjadikan kemampuan murid-murid ekskul robotika pun semakin melejit. Mereka tidak sekadar bikin robot analog, tetapi juga mulai belajar pemrograman robot atau

Berbagi Ilmu 

Hendro tak ingin kesuksesan yang diraihnya dalam mem-branding sekolah lewat teknologi, hanya dirasakan oleh SMP Islam al-Azhar 13 Surabaya. Namun, juga sekolah-sekolah lainnya di Indonesia. 

"Kebetulan Mas Rodik punya teman, yang sudah lama memiliki CV bernama AWG Market dan bergerak di bidang pengadaan barang-barang elektronik. Kami ajak berdiksusi buat mendirikan lembaga kursus robotika. Tetapi ternyata nggak bisa pakai CV. Harus bikin yayasan," papar Kepala Sekolah SMP Islam al-Azhar 13 Surabaya (2016-2019) ini.

Setelah yayasan didirikan 2016,  ia mengurus izin operasional AWG Robotica Course, Hendro bergerilya ke sekolah- sekolah lain untuk menawarkan kerja sama, entah dalam bentuk pelatihan atau pengadaan robot. Tergantung kebutuhan masing-masing sekolah.

Hendro menerangkan,"Dulunya, awal-awal yang kita tembak masih sekolah-sekolah al-Azhar. Seperti SDI al-Azhar 11, SDI al-Azhar 35. Setelah al-Azhar tuntas, baru ke sekolah lain seperti al-Hikmah dan sebagainya."

Sejak izin operasional keluar tahun 2017 sampai sekarang, sudah ada 21 sekolah, yang menjalin kerja sama dengan AWG Robotica Course. Kebanyakan memang sekolah di Surabaya. Di luar itu ada yang dari Mojokerto, Jombang, Pasuruan, Bojonegoro, Solo, Palu, Gresik, serta Sorong. Total jumlah muridnya mencapai 389 orang.

"Nah, khusus yang Sorong dan Palu, gurunya datang ke Surabaya selama 2 bulan. Selama itu, kita berikan pelatihan. Untuk sekolah-sekolah yang bisa kita jangkau, yang dilatih murid-muridnya. Dan kurikulumnya semua dari kita," tambah Hendro.

Selain berbagi ilmu, ayah dari Nur Hamida al-Latifa serta Nur Hamida al- Kamila ini ingin membangun kesadaran pada generasi muda agar melek terhadap teknologi. Bukan lagi sekadar menjadi pengguna, tapi lebih dari itu sebagai pencipta berbagai perangkat teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Menurut Hendro, di antara manfaat dari belajar programing menghasilkan kran air dengan sensor khusus. Jadi, kita nggak perlu lagi memutar kran, tinggal taruh tangan di bawah kran, air akan mengalir sendirinya.

Selain dilirik berbagai sekolah di Indonesia, kiprah Hendro dalam bidang teknologi, juga mampu membuat PT. Astra Internasional Tbk simpatik. la pun didapuk sebagai salah satu dari 6 penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2019. Sebuah ajang menjaring generasi muda yang kreatif, inovatif, dan berpotensi membawa perubahan di tengah masyarakat.




Hendro Yulius Putro (dok.astrainternasional)


Minggu, 27 Oktober 2024

Bangga pada Nodeflux, Karya Teknologi Anak Bangsa

 

Kantor Nodefluk (dok.pri)

Artificial intelegence menjadi sesuatu yang fenomenal dalam beberapa tahun terakhir. Saya terperangah dengan kemajuan teknologi ini dan berusaha mencari tahu, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan sebagai content creator. Tadinya saya mempelajari AI yang datang dari negara-negara maju. Tidak saya sangka ternyata Indonesia telah memiliki start up di bidang AI. 

Sejarah Indonesia dalam dunia teknologi tertoreh ketika Meidy Fitranto bersama Faris Rahman mendirikan startup teknologi berfokus pada kecerdasan buatan, artificial intelligence (AI), Nodeflux pada bulan Januari 2016. 

"Saat itu, Nodeflux memiliki kantor kecil menyewa rumah di Jalan Kemang dalam," cerita Meidy kepada penulis di kantor Nodeflux di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. 

Dalam perhitungan bisnis, Meidy menilai saat itu sudah lebih mudah bagi sebuah startup untuk berdiri, mengingat telah banyak kisah sukses dari startup pendahulu yang kini telah menjadi unicorn.

"Sebenarnya ekosistem startup di Indonesia lebih cenderung growing, untuk investor, untuk market, confidence levelnya sudah cukup tinggi," ujar Meidy.

Meidy memilih fokus pada pengembangan deep learning computer vision, menurut Meidy, pihaknya melihat adanya momentum yang baik, sebab Indonesia masih menjadi pasar yang baru untuk adopsi teknologi tersebut.

Meidy sedang menjelaskan (dokpri)

"Sementara, teknologi tersebut secara global masih terus berkembang dengan penemuan baru, sehingga masih banyak area menarik untuk dicoba eksplorasi", kata Meidy.

Pria kelahiran Jakarta tahun 1988 itu tak memungkiri bahwa modal selalu menjadi kendala saat memulai bisnis. Namun, hal itu bukan yang utama.

Bisnis bidang teknologi 

Menemukan ide bisnis, menurut Meidy, menjadi proses panjang. Selanjutnya, menurutnya, mencari jalan untuk mengeksekusi ide tersebut juga menjadi tantangan lain.

"Tapi semakin sering kita berpikir tentang idenya, frekuensi kemunculan ide semakin lebih banyak, dan itu menjadi probability untuk menemukan yang pas, itu yang kita lakukan," kata Meidy.

Pada 2017, Nodeflux sempat berubah haluan bisnis, dari platform analitik bergeser pada perusahaan Vision Al, sebelum akhirnya masuk pada tahap eksekusi. Pada tahun yang sama, Nodeflux mendapat pendanaan awal dari PT Telkom Indonesia.

Selanjutnya, pada tahap eksekusi, kedua founder Nodeflux yang memliki latar belakang Teknik Industri Institut Teknologi Bandung juga merasakan banyak tantangan, mulai dari menemukan klien ataupun market yang tepat, soal menyeimbangkan keuangan, hingga mendapat talenta digital untuk mengembangkan produk.

Hingga akhirnya kedua pendiri yang berteman sejak di bangku SMP itu menghadirkan VisionAire, yang secara teknis merupakan "otak dasar dari implementasi Al Nodeflux.

VisionAire dikembangkan dengan teknologi kecerdasan mesin untuk impelementasi Al di semua fungsi analitik maupun penerapannya dalam menghadirkan solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat.

Teknologi VisionAire dapat digunakan pada sumber perangkat keras apa saja, baik itu CCTV, webcam, ponsel, kamera atau lainnya. Banyak jenis aturan logika yang dapat diterapkan, bahkan dapat dikustomisasi khusus hanya untuk proses bisnis atau kebutuhan klien.

Produk dan layanan Nodeflux mencakup berbagai sektor tidak terbatas pada smart city, termasuk pertahanan dan keamanan, manajemen lalu lintas, manajemen tol, analitik toko (grosir dan eceran), manajemen aset dan fasilitas, serta iklan dan transportasi.

Nodeflux memulai tahun 2018 dengan East Ventures bergabung dalam pendana perusahaan rintisan tersebut. Pada tahun yang sama Nodeflux juga bekerjasama dengan Polri, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Jasa Marga untuk implementasi teknologi,

Teknologi AI, pengenalan wajah di cctv (dok.nodeflux)

Berbagai solusi yang dihadirkan Nodeflux di antaranya teknologi pengenal wajah, penghitung dan klasifikasi kendaraan untuk membedakan motor ataupun jenis kendaraan berukuran kecil, menengah dan besar, hingga pendeteksi muka air, yang menunjang solusi smart city.

Saat ini Nodeflux terus mengembangkan berbagai produk sebagai solusi isu-isu populis yang masih menanti untuk dipecahkan. Antara lain pengelolaan sampah, pendataan kendaraan, keamanan, manajemen lalu-lintas, hingga layanan kota pintar terpadu (smart city).

Teknologi face recognition Nodeflux juga tercatat berkontribusi dalam kesuksesan acara-acara penting berskala internasional yang turut mengharumkan nama bangsa dan kebijakan krusial. Nodeflux juga terlibat dalam kegiatan pengamanan Asian Games 2018 dan IMF-World Bank Group Summit 2018.

Begitu pula dengan event Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang, IMF-World Bank Group Annual Meeting 2018 di Bali, serta integrasi data kependudukan pertama di Indonesia menggunakan face matching technology secara menyeluruh oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Persaingan internasional 

Pada 2018, Nodeflux juga secara resmi menjadi bagian dari program NVIDIA-Metropolis Software Partner Program (Nvidia-MSPP). Nodeflux merupakan perusahaan Al Indonesia pertama yang masuk dalam daftar ini, bersama 24 perusahaan Al papan atas dari seluruh dunia.

NVIDIA-MSPP adalah program pemanfaatan Al dan deep learning dalam menjaga keamanan kota serta bertransformasi menjadi smart cities. Menjadi partner software dari perusahaan prosesor asal Amerika Serikat, Nvidia, menurut Meidy, membuka pintu lebar terhadap teknologi terkini, sekaligus menempatkan Nodeflux bersama brand Al dunia.

Usaha Nodeflux untuk menyejajarkan Indonesia di perpetaan persaingan Al dunia tidak hanya sampai di situ. Nodeflux berhasil meraih peringkat ke-25 untuk penilaian algoritma pemrograman dari Face Recognition Vendor Test (FRVT) di bulan September 2019 dari National Institute of Standards and Technology (NIST).

"Nodeflux itu satu satunya company dari indonesia yang sudah tervalidasi di proses testing di NIST. Di Asia Tenggara pun cuma ada empat, dan kita satu satunya dari Indonesia. Kita berusaha lihat area menarik dan membuktikan kompetensi kita di area mana untuk bisa menghasilkan quality services yang enggak mainan tapi world class delivery," ujar Meidy.

NIST merupakan lembaga standardisasi dan salah satu laboratorium bidang sains dan teknik tertua di Amerika Serikat, berada di bawah kendali Departemen Perdagangan pemerintah Amerika Serikat. Tujuannya adalah untuk menciptakan kompetisi unggul dalam perkembangan teknologi di seluruh dunia.

Nodeflux bersaing dengan lebih dari 90 perusahaan teknologi Al terkemuka di dunia, termasuk dari China dan Rusia, di kategori yang sama.

"Di Indonesia sebelumnya lebih banyak produk dari China, AS, Israel, bagaimana cara

Nodeflux bisa sejajar dengan mereka karena kita bermain di lapangan tanding yang sama, kita melakukan rules of the game yang sama, untuk mengetes produk kita sendiri di level benchmark yang sama," ujar Meidy.

Meski saat ini Al dengan teknologi face recognition sebagai salah satu bentuk implementasi, yang dapat digunakan di CCTV atau sistem absensi misalnya, menjadi kian banyak digunakan, Meidy melihat banyak produk asing yang mengatasnamakan karya anak bangsa.

"Konteks intelektualnya, jangan sampai beli dari luar tapi dibordir dengan nama Nodeflux misalnya, terus kita bilang itu punya Nodefux itu jangan. Akhirnya proses inovasi jadi proses inovasi naruh stempel," ujar Meidy.

Sehingga, menurut Meidy, edukasi menjadi penting saat ini. Selain talenta digital yang masih menjadi persoalan bagi Nodeflux, yang 60 persen karywannya merupakan penggerak inovasi teknologi atau engineer.

Eksistensi di tengah pandemi

Meski dengan keterbatasan talenta digital, Nodeflux mampu berinovasi di tengah pandemi Covid-19 untuk menghadirkan solusi yang mampu memantau proses pemantauan mobilitas publik secara otomatis. 

Seiring dengan kebijakan jaga jarak fisik, berbagai tantangan muncul, misalnya, pemantauan arus kendaraan di jalan-jalan tertentu tanpa harus menurunkan petugas di lapangan selama 24/7, pemantauan perilaku masyarakat yang tidak mematuhi jarak aman atau yang tidak mematuhi peraturan untuk memakai masker di luar rumah.

Nodeflux menghadirkan berbagai solusi berbasis teknologi Al Computer Vision bernama Nodeflux VisionAlre yang mampu mendeteksi dan menghitung kepadatan manusia, mendeteksi adanya jarak antar manusia kurang dari 1 meter dan mendeteksi adanya manusia yang tidak mengenakan masker.

Penulis bersama Meidy (dok.pri)

"Kami telah bekerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta dan Jawa Timur. Di Jawa Timur kami telah melakukan uji coba Al untuk penetapan protokol kesehatan yang memantau apakah masyarakat menggunakan masker atau tidak," kata Meidy.

Selain solusi manajemen perkotaan, Meidy melihat adanya permintaan yang tinggi terhadap sistem electronic Know your Customer (eKYC) pada layanan perbankan dan financial technology (Fintech), dalam masa pandemi saat ini.

Sistem eKYC membuat proses verifikasi calon nasabah menjadi lebih mudah, sebab KYC manual dapat memakan lebih banyak waktu dan terganjal sejumlah permasalahan.

"Manual cek prosesnya tidak instan, banyak permintaan di situ (eKYC), kalau manual cek problemnya bisa jadi KTP palsu. Dan, ini demand-nya cukup naik," kata Meidy.

Saat ini, Nodeflux telah memiliki 80 karyawan. Meidy melihat industri teknologi bidang Al terus berkembang, terlebih pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat investor tergiur untuk menanamkan modal.

"Perkembangan teknologi ini sangat menarik. Ini bukan cuma di Indonesia, tapi seluruh dunia karena growth cukup besar dan sangat menjanjikan, implementasinya cukup besar," Meidy menambahkan. 

Nodeflux, startup artificial intelligence asli Indonesia, meraih penghargaan 9th SATU Indonesia Award yang diselenggarakan oleh Astra International di rangkaian IdeaFest 2018 yang digelar di Jakarta.

Meidy berharap lewat penghargaan yang didapat ini, potensi anak bangsa akan lebih diakui. Kami berharap hal ini menjadi bukti untuk seluruh pihak supaya semakin percaya kekuatan pemuda Indonesia dalam membangun bangsa,.

Penghargaan yang diterima Nodeflux (dokpri )


Bagaimana Bambang Sardi Mengolah VCO

 

Bambang Sardi bersama kelompok ibu-ibu (dok.bambangsardi)

Sudah tahu dong produk VCO atau minyak kelapa murni? Nah ternyata prosesnya tidak mudah. Bambang Sardi, yang berasal dari Paku, Sulawesi Tengah, telah mengalaminya, mengolah kelapa menjadi minyak murni butuh tiga tahun melakukan riset hingga menciptakan Virgin Coconut Oil (VCO) tersebut.

Beberapa kali ia mengalami kegagalan. Dalam proses 2015, 2016, 2017 produk tidak terbentuk. Perjuangan Bambang Sardi tidak sia-sia. Setelah tiga tahunan melakukan penelitian, akhirnya minyak kelapa murni yang diimpikan tercapai.

Bambang bercerita, inovasinya ini bermula ketika melihat potensi besar kelapa di Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Parigi Moutong. Berbekal teknik kimia yang didapat dari bangku kuliah, dia berusaha mencari cara agar bisa mengolah kelapa- kelapa tersebut menjadi produk yang bisa memberikan kontribusi lebih besar bagi perekonomian masyarakat.

"Dari situ kami terus melakukan uji coba mana metode terbaik, yaitu fermentasi dengan VCO ini," ujar dosen dari Fakultas Teknik Kimia, Universitas Tadulako, Palu ini.

Menurut Bambang, produk minyak kelapa murninya ini telah tersebar di sejumlah daerah Indonesia. Bahkan ada juga permintaan ekspor ke luar negeri. Dengan memberdayakan masyarakat, produksi minyak kelapa murni itu telah mencapai 200 liter perbulan yang dibanderol dengan harga Rp35-Rp50 ribu per 250 mili liter untuk memenuhi pasar lokal.

Bambang Sardi mengembangkan usaha di Kabupaten Sigi, Donggala, Parigi dan Kota Palu. Targetnya, hasil riset tersebut menjadi industri besar di Sulawesi Tengah. Berkat usahanya itu Bambang Sardi meraih pemenang dalam program SATU Indonesia award asal Sulteng dari PT Astra Internasional Tbk, pada tahun 2017 lalu.

"Tidak ada bahan yang disebut limbah. Bagi saya semuanya mutiara," tegasnya.

Pentingnya penelitian

Bambang Sardi yakin akan hasil sebuah penelitian. Baginya kekuatan pengetahuan dan teknologi dapat memberikan manfaat terhadap kehidupan manusia. Sekalipun dari sesuatu yang dianggap limbah oleh banyak orang.

Sebagai contoh, pemanfaatan blondo. Residu atau bahan sisa sari pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) ini dimanfaatkan jadi biskuit bagi balita. Kandungan gizinya yang tinggi dipercaya dapat digunakan dalam intervensi mencegah tengkes alias stunting.

Penelitian ini dilakukan oleh Bambang Sardi di bawah bendera Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Tadulako, bersama Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kabupaten Parigi Moutong.

Sebelum melakukan penelitian pemanfaatan blondo sebagai bahan biskuit balita, pria kelahiran Wakatobi, 37 tahun lalu, ini awalnya secara beruntun melakukan penelitian khususnya pada pengelolaan tanaman kelapa. Penelitian ini menghasilkan inovasi bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat di Sulawesi Tengah.

"Dulu metode pengolah tanaman kelapa tidak semasif sekarang. Sehingga kualitas produk kita kurang bagus. Dan hasil harga kelapa belum cukup memenuhi kebutuhan hidup petani," ceritanya.

Dasar penelitian

Bambang mengisahkan pada tahun 2008, saat masih menjadi mahasiswa program sarjana (S1), beberapa kali dia membantu penelitian dosennya. Banyak riset yang dilakukannya langsung di lapangan. Tak hanya sekadar berkutat di dalam laboratorium.

la mengunjungi daerah-daerah, berkumpul bersama masyarakat di pedesaan, dan mengolah data dan informasi. Salah satu konsentrasi penelitiannya memang saat itu hendak mengembangkan tanaman kelapa.

Proses riset ternyata berjalan tak mudah. Sebab tak semua bahan baku tanaman kelapa tepat dijadikan VCO. Mencari kelapa yang bisa menghasilkan VCO berkualitas bagus juga bukan pekerjaan gampang. Padahal kualitas sumber bahan baku sangat penting.

Penghasil VCO (dok.bambangsardi)

Pada Tahun 2014, Bambang ke Kota Palu untuk menjadi tenaga dosen di Fakultas Teknik, Univeritas Tadulako (Untad). Bagaimana pun Bambang tidak mau hanya sekadar menjadi seorang pengajar, tanpa menghasilkan sesuatu bernilai lebih, Bambang kembali menekuni penelitian. la ingin memberi kontribusi membangun daerah dengan bekal pengetahuannya.

la bertukar pikiran dengan para mahasiswanya. Tanaman kelapa menjadi topik utama. Seorang mahasiswa memberi informasi tanaman kelapa di Desa Silanga, Parigi Moutong. Selama akhir pekan, ia mengisi hari liburnya dengan berkunjung desa yang dimaksudkan. Di sana ia mendapati petani hanya mengolah tanaman kelapa menjadi kopra. Sementara harga dari penghasilan kopra cenderung fluktuatif.

Bambang kemudian memperkenalkan pengolahan VCO berbekal riset yang pernah dilakukan bersama dosennya dulu. Respon baik diterimanya dari warga setempat dan pembuatan VCO dengan metode baru pun dilakukan.

VCO dari tanaman kelapa yang diambil langsung dari petani Desa Silanga ternyata menghasilkan kualitas bagus. Terdapat kandungan asam laurat di atas 50% dengan konversi daging kelapa menjadi VCO sebesar 12,5%. Asam lemak ini terdapat kandungan yang memiliki manfaat sebagai sifat antibakteri, antivirus, dan antijamur.

Produk sampingan VCO

Produk VCO saat ini banyak dimanfaatkan oleh industri kesehatan, farmasi, dan kosmetik. Proses pembuatannya menggunakan metode fermentasi anaerob yang dilakukan tanpa pemanasan dan penambahan bahan kimia. Jadinya produk yang dihasilkan dapat memenuhi spesifikasi industri. Nilainya juga berlipat ganda lebih tinggi dengan minyak kelapa biasa.

Kelebihan inilah yang membuat Bambang fokus dalam pembuatan VCO dengan melibatkan masyarakat. Dia pun membagi pengetahuan seputar pengolahan kelapa.

Untuk menghasilkan kualitas VCO yang baik, Bambang menemukan bahan kelapa yang dipilih haruslah berasal dari varietas dalam. Agar menghasilkan santan yang baik, proses pemerasan kelapa harus menggunakan air dari kelapa itu sendiri.

"Tanaman kelapa dengan jarak tanam 0-400 mdpl. Kelapa yang baik dalam pembuatan VCO sebaiknya dekat dengan laut. Kemudian parut yang digunakan harus tumpul agar daging kelapanya halus sehingga menghasilkan santan lebih banyak," jelas Bambang.

Blondo (dok.bambangsardi)

Bahan sısa darı VCO, yang disebut blondo, dimanfaatkan untuk pembuatan biskuit. Blondo ini mirip sisa pembuatan minyak kelapa yang disebut dengan taiminya. Pengembangan dari produk olahan VCO yang berupa biskuit blondo ini lantas menjadi bahan penelitiannya. Utamanya soal kandungan gizi.

Bambang mengungkapkan penelitiannya menyimpulkan adanya perbedaan signifikan tinggi badan balita sebelum dan sesudah dilakukan intervensi biskuit blondo. Rata- rata tinggi badan balita setelah intervensi (pemberian biskuit blondo) sebesar 0,81 cm. Peningkatan rata-rata berat badan balita sebesar 0, 43 ka setelah pemberian

Setelah sukses dengan inovasi biskuit blondo, Bambang melakukan penelitian dengan bahan lainnya. Bukan lagi seputar kelapa, namun merambah ke batu bara. Hasil penelitiannya yang berlangsung selama tiga tahun itu ia tuangkan dalam buku berjudul Pirolisis Batubara Peringkat Rendah.

Batu bara dapat diolah menjadi bahan bakar cair dan gas melalui metode pirolisis tanpa oksigen dengan bantuan microwave. Dengan memakai metode pembakaran tanpa oksigen ini hasil pembakaran dari batu bara tidak menghasilkan karbondioksida. Intinya, tak menghasilkan polutan yang merusak lingkungan. Bambang mengklaim hal ini baik untuk bagi warga bumi menuju nol emisi karbon.

Bambang Sardi dan buku karyanya (dok.bambangsardi)



Senin, 21 Oktober 2024

Dewis Akbar dan Gamelan Dalam Komputer

Dewis Akbar (dok.ipb)

 Belajar gamelan melalui komputer? Apa sih yang tidak bisa dilakukan di zaman sekarang. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka musik tradisional pun bisa direkayasa melalui komputer.

Pemrakarsanya adalah Dewis Akbar, laki-laki jebolan  Institut Pertanian Bogor (IPB). Dialah orang yang lebih memilih jadi guru Sekolah Dasar dibandingkan dengan bekerja di perindustrian. Dewis Akbar menyadari bahwa ilmunya lebih dibutuhkan di kampungnya, Garut,  daripada industri di perkotaan.

Kenyataannya, Garut memang masih termasuk 10 kabupaten/kota dengan penduduk di bawah garis kemiskinan. Meskipun di antara kesibukan sebagai petani teh di Garut, Kang Dewis (panggilan akrab) menyempatkan diri untuk memberikan kursus Ekstra kurikuler bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi kepada siswa-siswi di  SD Garut.

Hal tersebut, pernah disampaikan Dewis saat menjelaskan di sebuah kantor Civil Society Organization (CSO) atau organisasi nonpemerintah, Commonroom beberapa tahun lalu.   Dewis Akbar juga memanfaatkan sepeda motornya menjadi laboratorium komputer mini. 

Boleh dikatakan Dewis merupakan penggagas Mini Laboratorium On Bike di Kota Garut. Tanpa mengenal lelah, Dewis rela berkeliling dari sekolah ke sekolah untuk mengajarkan Teknologi Informasi dan Komunikasi kepada siswa di beberapa Sekolah Dasar, khususnya yang berada di area Regol Kota Garut.

Dewis dalam ruang komputer (dok.youtube Astra)

Ruang komputer 

Untuk mewujudkan obsesinya membuat siswa-siswi  melek teknologi komputer, Dewis mengubah ruangan  dengan luas 6x6 meter di SDN Regol 10 Kota Garut. Ruangan tersebut dijadikan  sebuah laboratorium komputer mini. Sejak 2014 ia menjadi Guru Ekstrakurikuler di SD tersebut, yang memang belum pernah memiliki laboratorium. Bahkan komputer hanya  digunakan untuk keperluan administrasi sekolah. Mata pelajaran TIK pun nyaris tanpa praktik sehingga belajar menjadi membosankan.

Saat komputernya bertambah menjadi tiga unit, kang Dewis terkendala dalam memaksimalkan pembelajarannya. Anak-anak hanya bisa belajar Microsoft office. Padahal seharusnya, anak- anak era digital mempelajari banyak ha. Terutama teknologi informasi yang terus berkembang. Menyadari keterbatasan tersebut, ia kemudian mendirikan kelompok ekstrakurikuler yang ia namakan dengan STEAM Club. STEAM Club adalah singkatan dari Science, Engineering, Art, & Math Club. Technology,

Melalui Club eskul ini, Dewis berusaha mengajarkan pembelajaran coding untuk anak-anak kelas lima. Selain coding, anak-anak juga belajar membuat program atau aplikasi. Namun, tantangan pertama adalah, kesulitan mengajarkan komputer kepada anak-anak yang tidak memiliki komputer. Untuk mengetikkan satu kalimat saja susah. Hal ini tentu berbeda dengan saat mengajarkan komputer kepada anak yang di rumahnya sudah memiliki komputer.

Namun Dewis tidak menyerah, kesulitan itu malah menjadi pemacu semangat bagi Dewis.  Dia melihat semangat anak-anak untuk belajar TIK. Melalui klub tersebut  para siswa pun mulai belajar pemrogaman, ia pun membuat projek pertamanya yaitu Saron Simulator, yaitu aplikasi android untuk belajar bermain gamelan. Saron simulator dimainkan seperti alat biasa, yaitu melalui alat-alat yang terbuat dari papan dan aklirik serta rekaman suara.

Laboratorium mini

Dari STEAM Club tersebut juga, ia menciptakan laboratorium komputer yang dinamis, mobile, bisa bergerak kemana-mana yang disebut  MiniLab On Bike. MiniLab On Bike pun menjadi organisasi yang didirikan Dewis untuk mendorong Pendidikan anak dalam bidang ICT. 

Dewis sendiri membuat MiniLab Kom terinspirasi dari perpustakaan keliling. Sementara untuk laboratorium yang dimaksud adalah menggunakan kontainer plastik yang menjadi tempat penyimpanan monitor, ini  terinspirasi dari penjual donat.

Simulasi gamelan dalam komputer (dok.youtube Astra)

Laboratorium komputer mini yang ia ciptakan menggunakan aplikasi yang ia beri nama Raspberry Pi. Melalui MiniLab Kom ia bisa berkeliling ke setiap sekolah yang ada di Garut. Saat menyelenggarakan workshop ia bisa melakukan simulasi terhadap siswa. Ternyata, banyak yang berminat, tadinya ia ingin membatasi hanya 30 siswa per sekolah, justru jumlah peserta hampir 2 kali lipat untuk mengikuti workshop-workshopnya.

Pameran 

Dewis pun sukses membawa anak-anak didiknya untuk ikut pameran pada kegiatan Indocomtech pada tahun 2018 lalu. la bersama anak didiknya dengan cekatan memeragakan bagaimana melakukan kegiatan coding melalui simulasi dadu, sehingga anak-anak mudah paham terhadap bahasa pemrograman.

Langkah Dewis berlanjut dengan  mendidik anak-anak yang kurang beruntung. Memang untuk memiliki komputer membutuhkan sumber daya keuangan yang tidak sedikit. Dewis, melalui lab mininya menghitung satu anak hanya butuh Rp.25000,- s/d. Rp 50.000,- agar bisa belajar komputer khususnya bahasa pemrograman.

Bahkan dalam satu postingannya di media sosial, Dewis menghitung dengan modal Rp.1 juta ia bisa memberikan pendidikan komputer untuk seribu siswa SD. la merasa penting mengajarkan pemrograman kepada anak-anak, agar bisa menyiapkan masa depannya sejak dini. 

" Pertama, anak-anak SD belajar coding agar di masa depan siap kerja, kedua belajar coding tidak harus anaknya nanti jadi programmer tapi untuk melatih problem solving dan computational thinking, jadi membuat pola pikir menjadi sistematis," jelas Dewis ketika diwawancarai CNN. 

Apa yang disampaikan oleh Dewis tampak relevan, salah satunya adalah saat anak didikannya yang masih SD begitu lancar menyampaikan bagaimana proses simulasi gamelan elektronik ciptaan timnya bersama sang guru. la juga lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari reporter CNN bahkan bisa menyimulasikan gamelan hanya dengan menyentuh hidungnya.

Dewis Akbar (dok.gnfi)

Prototipe pendidikan ICT 

Dewis Akbar ingin membangun model pendidikan ICT terdesentralisasi dan terlokalisasi sehingga dapat menciptakan akses bagi generasi muda ke dalam dunia digital, melalui edukasi dan literasi digital.

 Literasi yang dimaksud adalah mengembangkan keterampilan digital dan pemrograman di daerah. Melalui Lab Mini yang dapat dibawa kemana- mana, Dewis mampu meminimalisir kesenjangan digital, karena dengan laboratorium komputer mini yang dia ciptakan, Dewis berhasil memanfaatkan ruang kosong di sekolah menggunakan paket komputer berbiaya rendah. Dengan Rp.25000 s.d Rp50000 ia dapat mengajarkan 10 siswa SD dalam setiap paketnya sehingga memiliki keterampilan coding.

Bukan hanya itu, Dewis juga mendorong agar setiap guru mampu menjangkau  enam sekolah dalam seminggu untuk menyampaikan kurikulum rancangannya agar dapat diimplementasikan dan menjadi menumbuhkan kreativitas, pemecahan masalah, dan pembelajaran seumur hidup sehingga siswa SD dapat menyiapkan masa depannya lebih dini.

Sebagai Sarjana Elektro, Dewis tidak hanya fokus pada program pemrograman saja, karena fokusnya adalah inovasi. la juga belajar untuk meningkatkan hasil pertanian demi mengolah asset pertanian orang tuanya. la sadar bahwa banyak teknologi terapan yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi lokal dengan memanfaatkan bahan yang ada di daerah.

Melalui inovasi dan kepeduliannya terhadap anak-anak di daerah, ia pun mendapatkan ganjaran dari Indonesia ICT Awards (Inaicta) 2014, Merit Award Asia Pacific ICT Alliance (Apicta) Awards 2014, penghargaan SATU Indonesia Award 2016 yang dihelat PT Astra International Tbk, tampil pada Indocomtech 2018. la berhasil membawa anak-anak kampung ke kota. Mendorong mereka percaya diri bicara dan mensimulasikan teknologi.

Dewis Akbar, paling kanan, dan rekanan (dok.Dewis)