Dewis Akbar (dok.ipb) |
Belajar gamelan melalui komputer? Apa sih yang tidak bisa dilakukan di zaman sekarang. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka musik tradisional pun bisa direkayasa melalui komputer.
Pemrakarsanya adalah Dewis Akbar, laki-laki jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB). Dialah orang yang lebih memilih jadi guru Sekolah Dasar dibandingkan dengan bekerja di perindustrian. Dewis Akbar menyadari bahwa ilmunya lebih dibutuhkan di kampungnya, Garut, daripada industri di perkotaan.
Kenyataannya, Garut memang masih termasuk 10 kabupaten/kota dengan penduduk di bawah garis kemiskinan. Meskipun di antara kesibukan sebagai petani teh di Garut, Kang Dewis (panggilan akrab) menyempatkan diri untuk memberikan kursus Ekstra kurikuler bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi kepada siswa-siswi di SD Garut.
Hal tersebut, pernah disampaikan Dewis saat menjelaskan di sebuah kantor Civil Society Organization (CSO) atau organisasi nonpemerintah, Commonroom beberapa tahun lalu. Dewis Akbar juga memanfaatkan sepeda motornya menjadi laboratorium komputer mini.
Boleh dikatakan Dewis merupakan penggagas Mini Laboratorium On Bike di Kota Garut. Tanpa mengenal lelah, Dewis rela berkeliling dari sekolah ke sekolah untuk mengajarkan Teknologi Informasi dan Komunikasi kepada siswa di beberapa Sekolah Dasar, khususnya yang berada di area Regol Kota Garut.
Dewis dalam ruang komputer (dok.youtube Astra) |
Ruang komputer
Untuk mewujudkan obsesinya membuat siswa-siswi melek teknologi komputer, Dewis mengubah ruangan dengan luas 6x6 meter di SDN Regol 10 Kota Garut. Ruangan tersebut dijadikan sebuah laboratorium komputer mini. Sejak 2014 ia menjadi Guru Ekstrakurikuler di SD tersebut, yang memang belum pernah memiliki laboratorium. Bahkan komputer hanya digunakan untuk keperluan administrasi sekolah. Mata pelajaran TIK pun nyaris tanpa praktik sehingga belajar menjadi membosankan.
Saat komputernya bertambah menjadi tiga unit, kang Dewis terkendala dalam memaksimalkan pembelajarannya. Anak-anak hanya bisa belajar Microsoft office. Padahal seharusnya, anak- anak era digital mempelajari banyak ha. Terutama teknologi informasi yang terus berkembang. Menyadari keterbatasan tersebut, ia kemudian mendirikan kelompok ekstrakurikuler yang ia namakan dengan STEAM Club. STEAM Club adalah singkatan dari Science, Engineering, Art, & Math Club. Technology,
Melalui Club eskul ini, Dewis berusaha mengajarkan pembelajaran coding untuk anak-anak kelas lima. Selain coding, anak-anak juga belajar membuat program atau aplikasi. Namun, tantangan pertama adalah, kesulitan mengajarkan komputer kepada anak-anak yang tidak memiliki komputer. Untuk mengetikkan satu kalimat saja susah. Hal ini tentu berbeda dengan saat mengajarkan komputer kepada anak yang di rumahnya sudah memiliki komputer.
Namun Dewis tidak menyerah, kesulitan itu malah menjadi pemacu semangat bagi Dewis. Dia melihat semangat anak-anak untuk belajar TIK. Melalui klub tersebut para siswa pun mulai belajar pemrogaman, ia pun membuat projek pertamanya yaitu Saron Simulator, yaitu aplikasi android untuk belajar bermain gamelan. Saron simulator dimainkan seperti alat biasa, yaitu melalui alat-alat yang terbuat dari papan dan aklirik serta rekaman suara.
Laboratorium mini
Dari STEAM Club tersebut juga, ia menciptakan laboratorium komputer yang dinamis, mobile, bisa bergerak kemana-mana yang disebut MiniLab On Bike. MiniLab On Bike pun menjadi organisasi yang didirikan Dewis untuk mendorong Pendidikan anak dalam bidang ICT.
Dewis sendiri membuat MiniLab Kom terinspirasi dari perpustakaan keliling. Sementara untuk laboratorium yang dimaksud adalah menggunakan kontainer plastik yang menjadi tempat penyimpanan monitor, ini terinspirasi dari penjual donat.
Simulasi gamelan dalam komputer (dok.youtube Astra) |
Laboratorium komputer mini yang ia ciptakan menggunakan aplikasi yang ia beri nama Raspberry Pi. Melalui MiniLab Kom ia bisa berkeliling ke setiap sekolah yang ada di Garut. Saat menyelenggarakan workshop ia bisa melakukan simulasi terhadap siswa. Ternyata, banyak yang berminat, tadinya ia ingin membatasi hanya 30 siswa per sekolah, justru jumlah peserta hampir 2 kali lipat untuk mengikuti workshop-workshopnya.
Pameran
Dewis pun sukses membawa anak-anak didiknya untuk ikut pameran pada kegiatan Indocomtech pada tahun 2018 lalu. la bersama anak didiknya dengan cekatan memeragakan bagaimana melakukan kegiatan coding melalui simulasi dadu, sehingga anak-anak mudah paham terhadap bahasa pemrograman.
Langkah Dewis berlanjut dengan mendidik anak-anak yang kurang beruntung. Memang untuk memiliki komputer membutuhkan sumber daya keuangan yang tidak sedikit. Dewis, melalui lab mininya menghitung satu anak hanya butuh Rp.25000,- s/d. Rp 50.000,- agar bisa belajar komputer khususnya bahasa pemrograman.
Bahkan dalam satu postingannya di media sosial, Dewis menghitung dengan modal Rp.1 juta ia bisa memberikan pendidikan komputer untuk seribu siswa SD. la merasa penting mengajarkan pemrograman kepada anak-anak, agar bisa menyiapkan masa depannya sejak dini.
" Pertama, anak-anak SD belajar coding agar di masa depan siap kerja, kedua belajar coding tidak harus anaknya nanti jadi programmer tapi untuk melatih problem solving dan computational thinking, jadi membuat pola pikir menjadi sistematis," jelas Dewis ketika diwawancarai CNN.
Apa yang disampaikan oleh Dewis tampak relevan, salah satunya adalah saat anak didikannya yang masih SD begitu lancar menyampaikan bagaimana proses simulasi gamelan elektronik ciptaan timnya bersama sang guru. la juga lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari reporter CNN bahkan bisa menyimulasikan gamelan hanya dengan menyentuh hidungnya.
Dewis Akbar (dok.gnfi) |
Prototipe pendidikan ICT
Dewis Akbar ingin membangun model pendidikan ICT terdesentralisasi dan terlokalisasi sehingga dapat menciptakan akses bagi generasi muda ke dalam dunia digital, melalui edukasi dan literasi digital.
Literasi yang dimaksud adalah mengembangkan keterampilan digital dan pemrograman di daerah. Melalui Lab Mini yang dapat dibawa kemana- mana, Dewis mampu meminimalisir kesenjangan digital, karena dengan laboratorium komputer mini yang dia ciptakan, Dewis berhasil memanfaatkan ruang kosong di sekolah menggunakan paket komputer berbiaya rendah. Dengan Rp.25000 s.d Rp50000 ia dapat mengajarkan 10 siswa SD dalam setiap paketnya sehingga memiliki keterampilan coding.
Bukan hanya itu, Dewis juga mendorong agar setiap guru mampu menjangkau enam sekolah dalam seminggu untuk menyampaikan kurikulum rancangannya agar dapat diimplementasikan dan menjadi menumbuhkan kreativitas, pemecahan masalah, dan pembelajaran seumur hidup sehingga siswa SD dapat menyiapkan masa depannya lebih dini.
Sebagai Sarjana Elektro, Dewis tidak hanya fokus pada program pemrograman saja, karena fokusnya adalah inovasi. la juga belajar untuk meningkatkan hasil pertanian demi mengolah asset pertanian orang tuanya. la sadar bahwa banyak teknologi terapan yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi lokal dengan memanfaatkan bahan yang ada di daerah.
Melalui inovasi dan kepeduliannya terhadap anak-anak di daerah, ia pun mendapatkan ganjaran dari Indonesia ICT Awards (Inaicta) 2014, Merit Award Asia Pacific ICT Alliance (Apicta) Awards 2014, penghargaan SATU Indonesia Award 2016 yang dihelat PT Astra International Tbk, tampil pada Indocomtech 2018. la berhasil membawa anak-anak kampung ke kota. Mendorong mereka percaya diri bicara dan mensimulasikan teknologi.
Dewis Akbar, paling kanan, dan rekanan (dok.Dewis) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar